“Pokoknya tidak boleh pakai balon!” ujar Eka sambil menghempaskan gulungan kertas di genggaman ke meja dengan kencang.
Semua terdiam. Aku berdeham dengan canggung, lalu bertanya perlahan “OK, tapi kenapa?”
“Kalian
semua tahu kan, balon yang dilepas ke udara itu suatu saat akan
kehabisan udara, lalu turun ke bumi jadi sampah, yang bisa jadi akan
berakhir di laut, termakan oleh binatang, lalu binatangnya keracunan
atau bahkan mati.” papar Eka dalam satu hembusan nafas.
“Woles aja sih, nggak usah pake otot.” sahut Anjar, ketua kelompok kami dengan santai.
“Tapi
lihat di youtube, banyak acara penutupan sebelumnya yang pake balon,
dan itu keren, anak-anak senang.” Diaz sang fotografer yang sedari tadi
diam pun ikut bersuara.
“Not us, please.” Nada bicara Eka melunak “Kita nggak mau kan jadi pembunuh cuma gara-gara upacara penutupan keren pake balon?”
Rapat hari itu ditutup tanpa solusi.
Kegiatan
Kelas Inspirasi yang akan kami lakukan minggu depan adalah kegiatan
satu hari untuk sharing mengenai profesi masing-masing relawan pengajar.
Tujuannya supaya para siswa mengenal berbagai macam profesi selain yang
ada di sekitar mereka saat ini. Sangat mengenaskan saat survey, dimana
mayoritas anak laki-laki menyatakan cita-cita mereka adalah pemain sepak
bola sementara anak perempuan bercita-cita menjadi artis. Menurut Eka,
mereka kebanyakan nonton televisi.
Sudah
satu minggu lewat dari rapat terakhir kami. Hampir semua detail sudah
disiapkan, mulai dari jadwal mengajar, rundown dari upacara pembukaan
hingga upacara penutupan, hingga tema sesi foto tiap kelas sesuai dengan
profesi pengajar terakhir. Satu hal yang masih belum selesai, upacara
penutupan. Notifikasi group whatsapp berdenting tanpa henti, satu jam
saja tidak dibuka akan memuncukan ratusan pesan tak terbaca. Berbagai
ide selain pelepasan balon ditolak oleh Eka dengan alasan menyampah.
Hingga akhirnya Diaz memunculkan ide: gelembung sabun.
“Satu,
mudah didapat. Kayaknya semua orang punya deterjen dirumahnya. Dua,
murah. Kita tinggal beli kawat untuk peniupnya dan manfaatin ember untuk
tempat mencampur deterjen sama air. Tiga, nggak nyampah. Air sabun sisa
bisa dialirkan ke selokan dan kawatnya bisa dipake lagi untuk keperluan
lain.” ketik Diaz dalam pesannya. Semua anggota grup setuju, dan
dibagilah tugas siapa saja yang membawa ember, deterjen, dan kawat.
Pada
hari H, upacara pembukaan hingga sesi mengajar tiap kelas berjalan
lancar. Bel tanda pulang sekolah berbunyi, para siswa, guru, dan relawan
pengajar berkumpul dilapangan untuk upacara penutupan. Setelah selesai
upacara, tibalah sesi foto bersama. Para siswa dibariskan dengan kelas
kecil di paling depan, menghadapi puluhan ember berisi larutan deterjen
dengan antusias meniup gelembung-gelembung sabun bahkan sebelum
dikomando untuk itu. Diaz memberi aba-aba untuk meniup gelembung sabun:
“Satu.. dua… tiga!” Gelembung sabun bertebaran diudara, saat tiba-tiba
angin bertiup ke arah para siswa. Sorak-sorai berganti derai tangis,
saat gelembung sabun tersebut pecah mengenai mata para siswa.
-Ririe-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting
No comments:
Post a Comment