"Risa!"
Aku membereskan tumpukan kertas di mejaku.
Beberapa naskah permukaannya sudah jadi sarang debu. Bahkan ada yang belum
kusentuh selama beberapa minggu, padahal ...
"RISA!"
"Ya!" Buru-buru aku melangkah ke ruangan
manajerku. Melihat wajahnya sekilas saja aku sudah tahu kalau ada yang tidak
beres. Dahinya berkerut, alisnya bertemu. Tangannya menggenggam dummy buku cerita bergambar tokoh dunia
yang kuletakkan di mejanya tadi pagi. Helen Keller adalah tokoh ...
"Kenapa ilustrasinya begini?" tanya Pak
Heru dengan nada meninggi. Kini dummy
itu dia sodorkan kepadaku, terbuka pada bagian di mana seluruh halamannya hitam.
Tidak ada gambar. Sekilas seperti tidak ada tulisan. Setelah aku dummy
berpindah ke tanganku, Pak Heru membuang mukanya.
"Ee, Pak ...." Aku tergagap, menghadap
punggung Pak Heru. "Helen Keller kan buta dan tuli. Ilustrasi ini
menggambarkan sebuah dunia dari sudut pandang ...."
"Pemborosan," potong Pak Heru tidak
sabar. "Kok kamu nggak tanya saya sih?"
"Menurut saya ...."
Bukan
pemborosan karena pada halaman itu sesungguhnya ada narasi tulisan, tapi dalam
huruf-huruf timbul. Anak-anak bisa membaca dengan merabanya.
Rangkaian kata itulah yang ingin kuucapkan. Namun,
lidahku berhenti bergerak setelah kata 'saya'.
Pak Heru lantas menarik napas panjang. Dia
menggelengkan kepalanya, seperti memaklumi anak usia lima tahun yang masih juga
membasahi kasurnya. "Sekarang kamu revisi narasi dan ilustrasinya. Pakai
ilustrator yang bisa kerja ngebut. Ingat buku ini mesti masuk percetakan dalam
waktu dua hari," katanya.
Ketika beranjak keluar, aku mendengar Pak Heru
menggumam, "Saya heran, kamu sudah lama kerja di sini, tapi masih belum
juga mengerti soal-soal seperti ini." Kata-kata itu serasa menusuk
punggungku.
Saat kembali menghadapi meja, perasaanku bercampur
aduk. Aku benci Pak Heru. Dia seolah tidak mau tahu. Dia sering bilang
seharusnya aku lebih inisiatif, tapi inilah yang terjadi ketika apa yang
kukerjakan tidak sesuai keinginannya.
Dulu ketika pertama bekerja di sini, aku senang
karena mendapat sebuah meja kerja yang luas. Kupikir ada banyak hal yang bisa
kukerjakan di atasnya. Namun pada akhirnya setiap permukaan kosong malah jadi
tempat menumpuknya pekerjaan yang tertunda.
Dan aku khawatir, setiap kata pembelaan, setiap
ungkapan sakit hati yang selalu kutelan, semua menumpuknya di punggung. Karena
saat ini, punggungku sakit sekali.
-Andika Budiman-
121115
Cafe Halaman
CS Bandung Writers' Club 7th Meeting
No comments:
Post a Comment