“Halo, apa kabar?”
Dia tidak menjawab. Wajah pucatnya membalas sapaanku.
“Regina? Lebih enakan sekarang?”
Kali ini, dia menoleh. Senyumnya mengembang terpaksa.
Aku menaruh bunga favoritnya di atas meja. Di sebelah boneka usang yang selalu
dia peluk selama 28 tahun terakhir, setiap malam. Gelas kaca berisi air putih
tinggal setengah. Artinya, dia sudah meminum obatnya.
“Aku udah lakuin semua yang kamu minta. Tadi pagi aku
pergi ke rumah teman kamu, Borin. Yang rumahnya di Leuwigajah itu. Jauh. Haha.
Dianya juga nyaris berangkat kerja. Kalo aku telat dikit aja, mungkin aku nggak
akan ketemu dia. Eh, dia tuh pake jilbab ya kalo kerja? Terakhir kita ketemu
dia kan, dia nggak pake kerudung gitu. Yang rambutnya sebahu itu, kan? Pangling
aja aku pas lihat dia pake hijab.”
Regina masih mengembangkan senyum mendengar ceritaku.
Dia mengedip, mengganti anggukan yang berat dia lakukan. Sebisa mungkin aku
menahan tangis.
“Salam dari Borin, katanya. Nanti dia main ke sini
hari Sabtu. Mau dia bawain cheesecake yang dikasih buah naga. Cheesecake
kesukaan kamu, Regina. Hahaha….” Aku duduk di atas ranjang, tepat di
sampingnya. Kubelai lengannya yang sekarang kurus. Kukirim doa-doa terbaik
seraya aku menyusurkan jemariku di permukaannya. “Nanti aku mau coba
cheesecake-nya. Boleh?”
Regina mengangguk menggunakan kedipan lagi.
“Nah, terus habis nganterin Borin ke kantornya dia,
aku langsung pergi nyamperin Sania. Dia pengen banget ketemu kamu, tapi tahulah
dia pegawai bank. Udah gitu rumah kamu jauh dari banknya dia. Begitu kerjaan
kantor beres, harus ketemu macet. Maaf banget belum bisa jenguk. Tadi aja aku
ngambil antrian CS dong, biar bisa ngobrol ama dia. Hahaha….”
Regina tertawa menggunakan kedipan lagi.
Kugenggam tangannya yang kurus dengan lembut. Kututup
satu sudut selimut yang tersingkap. Selama beberapa saat, aku hanya menatapnya
penuh doa. Menunggu dua atau tiga detik sebelum aku melanjutkan cerita.
“Dan aku siangnya ketemu Jay,” lanjutku. “Iya. Mantan
kamu. Dia cemas sebenernya, cuma nggak bisa jenguk kamu karena pacarnya yang
sekarang posesif abis. Kamu tahulah, apa pun yang berhubungan sama kamu,
langsung pacarnya blokir. Aku aja ketemunya sebentar, cuma ngasihin
barang-barang dia yang masih ada di kamu. Semuanya udah aku kumpulin kemarin.
Kecuali topi merah yang kamu bilang itu, aku nggak nemu. Paling entar kalo aku
ada waktu luang, aku cari lagi dan kasihin ke Jay. Salam dari Jay juga. Cepet
sembuh katanya.”
Regina paham, menggunakan kedipan lagi. Kali ini
senyumnya tidak mengembang. Mungkin karena kisah tentang Jay menyimpan duri
yang menyakitkan dalam hatinya.
Aku mulai mengusap keningnya, menyingkirkan sejumput
rambut yang jatuh menghalangi pandangannya. Regina terasa dingin. Bibirnya
memutih. Selama dua atau tiga menit aku memberi jeda atas kisahku. Kutatap
Regina dan kutemani dalam diam. Kugenggam tangannya, kuamati dadanya yang
bergerak dalam napas, kutatap matanya yang menatap kosong padaku.
Kadang tatapannya menajam. Kadang tatapannya memohon
pertolongan. Kadang tatapannya ingin mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
“Habis ketemu Jay, sebelum aku nyampe ke sini, aku
juga ke rumah ibuku. Aku salamin ke Ibu. Aku ceritain soal kamu. Sesuai yang
kamu minta kemaren, Regina. Ibu doain, semoga cepet sembuh. Semoga bisa cepetan
main lagi ke rumah Ibu. Terus, oh, bentar.” Aku beranjak dari tempat tidur dan
mengambil cookies cokelat buatan Ibu, yang kebetulan sore kemarin dibuat khusus
untuk Regina. Ibu tahu Regina suka cookies. Pertama kali Regina main ke
rumahku, dia menghabiskan semua cookies cokelat dalam toples. Kami semua
tertawa dan ibuku tidak pernah melupakannya. “Ini. Dari Ibu,” kataku,
meletakkan cookies itu di atas meja, di sebelah bunga favoritnya. “Dikasih
doa-doa. Supaya cepet sembuh.”
Regina tertawa, menggunakan kedipannya lagi.
Aku kembali duduk di sampingnya. Memberi jeda dua
belas hingga tiga belas menit dalam ceritaku. Kutatap Regina lagi. Setiap senti
tubuhnya. Setiap detak napasnya. Setiap kedipannya yang rapuh. Menit kedelapan,
aku memeluknya sejenak, mencium aroma conditioner yang khas dari rambutnya.
Kukecup keningnya dan kembali kubisikkan harapanku di sana.
Lalu, aku membaringkan tubuhku di samping Regina.
Kurangkul dia. Kuajak menatap langit-langit kamar seolah menatap
bintang-bintang. Kuusap bahunya, seolah menenangkan anak kecil dari tangis
ketakutannya. Kubiarkan Regina bernapas di leherku, seolah menjadikan diriku benteng
terkuatnya menghadapi musuh.
Yah, aku mau kok menjadi bentengnya. Menjadi seseorang
yang berkesempatan melindunginya.
Setelah kurasa cukup untuk melanjutkan cerita, aku
bilang kepadanya, “Aku mau ngasih kamu satu rahasia paling rahasia sejagad
raya. Kamu mau dengar?”
Regina mendongakkan kepalanya menatapku. Senyumnya
mengembang lebih lebar. Aku tahu, Regina senang rahasia. Regina senang menguak
apa yang hakikatnya tersembunyi.
“Rahasianya sepele. Tapi ini rahasia. Sampai sekarang
tidak ada yang tahu soal ini. Mau itu Borin, mau itu Sania, mau itu Jay, mau
itu ibuku. Atau semua teman-temanku. Paling Cuma Tuhan yang tahu. Tapi kan
Tuhan selalu curang. Tuhan selalu tahu apa yang kulakukan. Bahkan tahu semua
rahasia-rahasia jagad raya.”
Dalam rintihnya yang menyakitkan, kudengar Regina
berkata, “Apa?”
Suaranya seperti kayu lapuk yang nyaris patah.
Berderak-derak dan membuat ngilu.
“Rahasianya….” Kukecup keningnya sebelum menjawab.
“Aku mencintaimu, Regina.”
Dia memelukku lebih erat, melawan rasa sakit atas
tubuhnya yang lemah. Kurasakan dia membenamkan wajahnya di dadaku, merebahkan
jiwanya dalam perlindunganku. Lalu, sangat-sangat-sangat jelas… kurasakan
bibirnya tersungging. Melukis senyum. Aku bisa merasakannya.
“Aku mencintaimu, Regina,” ulangku. “Dua jam lagi kamu
akan melakukan operasi besar atas tubuhmu. Dan aku berjanji aku akan optimis
menghadapi operasi itu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mengirimkan kabar
baik kepada teman-temanmu. Kepada Jay, bahkan kepada ibuku. Aku berjanji,
rahasia itu akan tetap menjadi rahasia di mana hanya kamu dan Tuhan yang tahu.
“Aku berjanji, aku akan mati-matian menjaga rahasia
itu tetap seperti itu. Karena apa pun yang terjadi, kamu sudah melukis satu
warna baru dalam hidupku. Warna yang tidak teridentifikasi enam belas juta
warna layar ponsel. Warna itu kamu. Hanya kamu yang punya.” Kukecup keningnya
sekali lagi. “Sekarang, Regina, kamu mau berjanji nggak, bahwa kamu bakal
berjuang menghadapi operasimu?”
Regina mengedip, menjawab iya. Lalu, dia mengangkat
tangan kirinya. Mengacungkan jari paling lemah dan mungil.
Kelingkingnya.
Dengan sabar mata berair, kuacungkan kelingkingku dan
kukaitkan di kelingkingnya.
Terima kasih, Regina. Aku tahu kamu akan selalu
berjuang.
051115
Giggle Box
CS Bandung Writers' Club 6th Meeting
No comments:
Post a Comment