Jika ada yang diberi pertanyaan, "Apa yang paling kau ingat
tentang mantan kekasih terakhirmu?" mungkin mereka akan menjawab,
"Hangatnya," "Senyumnya," "Wanginya," "Matanya," "Hidungnya," atau
bahkan, "Ciumannya."
Dan aku akan menjawab, "Punggungnya."
Ah, mana bisa kulupakan kau dan punggungmu itu. Punggung
yang sama sekali tidak kokoh sebenarnya, karena kau termasuk sangat
kurus untuk ukuran pria seumuranmu. Tapi punggungmu itu, ya, yang kurus
ceking itu, adalah punggung yang selama ini menentramkanku. Punggungmu
itu selalu menyembunyikanku dari dinginnya angin malam kota Bandung
sehabis hujan. Kau tentu ingat betapa erat pelukanku di atas motor
tuamu. Dan punggungmu selalu bisa kujadikan sandaran dan penampung air
mata. Sudah kubilang aku berjanji tidak pernah menangis di depanmu kan?
Aku menepatinya. Aku sering menangis diam-diam di belakangmu. Aku tau
bahwa kau tau itu. Tapi aku tak peduli selama kau tetap pura-pura tak
peduli.
Sampai kini aku masih bertanya pada semesta, mengapa harus
punggung kurus ceking favoritku itu menjadi hal yang terakhir yang
kulihat darimu di lorong samping laboratorium setelah kau berkata lirih,
"Kita sampai di sini saja ya Dik, aku mau kembali pada tunanganku di
Surabaya."
-Rahadini Windia-
121115
Malang
CS Bandung Writers' Club 7th Meeting
No comments:
Post a Comment