Katanya, pada suku tertentu, anak-anak diberi nama
berdasarkan benda pertama yang dilihat sang ibu, sesaat setelah sang
anak lahir. Kursi. Meja. Bantal. Kusen.
Saya tidak lahir dan dibesarkan di tengah suku itu. Tapi
entah mengapa, ibu memilih menamai saya berdasarkan benda pertama yang
dilihatnya sesaat setelah kelahiran saya. Gelembung Sabun. Kok
bisa-bisanya ibu melihat gelembung sabun setelah kelahiran saya?
Sudahlah, terlalu aneh untuk diceritakan. Tidak usah, ya?
Nama Gelembung Sabun bukan bagian terburuk. Panggilan
sayalah yang paling parah. Embung (yang dalam bahasa Sunda kasar artinya
"tidak mau"). Akibat nama itu, sepanjang waktu saya menjadi
bulan-bulanan. Sejak kecil saya sudah mengalami kerasnya hidup sebagai
kaum terhina dan tercerca.
Bukan satu-dua kali saya bertanya kepada ibu, kenapa
tega-teganya ia menamai saya "Gelembung Sabun" dan memanggil saya
"Embung". Tapi jawaban ibu selalu sama.
"Gelembung Sabun itu cantik sekali, Embung. Ibu ingin anak ibu secantik gelembung sabun."
"Tapi, Bu, kan banyak hal cantik lain selain gelembung sabun. Kenapa harus itu yang jadi namaku?"
"Karena itu benda pertama yang ibu lihat di saat kamu lahir," kata ibu
sambil menatap saya, seakan-akan peristiwa itu mengharukan.
Selama bertahun-tahun, saya menyandang nama apaan deh itu,
sambil berusaha mencari informasi untuk berganti nama secara resmi.
Sampai pada suatu hari, saya tahu mengapa sebetulnya ibu menamai
Gelembung Sabun dan memanggil saya Embung.
Kamu tahu kisah "Little Mermaid" yang ditulis Hans
Christian Andresen? Kisah itu sesungguhnya nyata. Tersebutlah puteri
duyung cantik yang jatuh cinta pada seorang pangeran. Singkat cerita,
setelah berbagai kekusutan yang terjadi, di akhir kisah puteri duyung
dititah untuk membunuh sang pangeran. Ketika melihat sang pangeran,
puteri duyung itu lantas "embung" membunuh pujaan hatinya. Ia memilih
membunuh dirinya sendiri, dan menjelma menjadi gelembung-gelembung yang
terbang memintas samudera dibawa angin dan nasib.
Saya adalah gelembung yang terbawa sampai ke pantai
Pangandaran. Perempuan yang saat ini saya sebut ibu adalah pedagang ikan
asin di pinggir pantai. Ketika melihat saya, ibu terpesona. Ia yang
sudah bosan memandangi ikan asin, memperhatikan ke mana saya terbang.
Tiba-tiba saya pecah di udara dan menjelma menjadi bayi perempuan,
terbang seringan bulu ke gendongan ibu.
Lalu kenapa harus gelembung sabun? Saya kan gelembung saja. Dan dari mana juga saya tahu asal usul saya yang sesungguhnya ini?
Sudahlah, terlalu aneh untuk diceritakan. Tidak usah, ya? Saya sudah lelah ...
Voted as 2nd favorite story of the night
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting
No comments:
Post a Comment