Dari kelima, eh salah, kesepuluh jari tanganku aku paling
benci jari kelingking. Jari paling kecil tetapi paling mengintimidasiku.
Seandainya ada phobia terhadap jari kelingking, mungkin aku sudah mengidapnya.
Pinky phobia, begitu aku menamai seenaknya.
“hahaha…hahaha…haha” suara kawan-kawanku menggema, mereka
sedang menertawakanku. Ingin aku tutup telingaku, agar suara menyakitkan ini
tidak perlu kudengar. Ini bukan pertama kalinya mereka mengejekku, mengejek
kelingkingku.
“masa anak cowo kelingkingnya ngetrill” ejek Adi
“kaya anak cewe aja” sahut Eko
“banci..ih..banci” Budi menimpali
Aku hanya bisa diam, tanganku mengepal menahan amarah. Aku
marah dan benci pada jari kelingkingku. Seandainya aku bisa menahan jari
kelingkingku jangan sampai jari paling ujung ini naik saat aku mengangkat
barang, pasti sudah aku lakukan dari dulu. Ingin sekali kelingkingku ini bisa
aku lem bersama dengan jari manis.
Pandanganku mulai kabur, air mata sepertinya mulai menggenang
di mataku.
“iih..cengeng..anak cowo cengeng” mereka tambah mengejekku.
“banci ga punya ibu…hahaha"
telingaku berdenging mendengar ejekan itu. Ejekan mereka
sudah kelewat batas, terlalu menyakitkan. Aku bukanlah anak yang gampang emosi,
tetapi kali ini aku tidak bisa menahan diri. Kuayunkan kepalan tanganku, bukan
maksudku untuk memukul mereka, hanya berusaha untuk menghalau. Namun ternyata
kepalan tanganku mengenai muka Adi. Kacamata yang ia kenakan pecah dan
kacanya mengores mukanya dan tanganku. Darah mengalir dari mukanya dan tanganku. Tangis
adi pecah, sedangkan aku hanya bisa gemetar.
Eko dan Budi berlari memanggil-manggil ibu guru. Bu guru lalu
mengobati luka kami. Jika adi menangis meraung-raung, aku tidak menangis sama
sekali. Bukan karena aku sok kuat, tetapi karena aku takut, takut sekali.
Apa yang aku takutkan terjadi, bu guru memanggil ayahku.
Dibatasi meja bu guru duduk di kursi, di depanku dan ayah.
“Pak, anak bapak tidak sepenuhnya salah ketika memukul
temannya, ada andil dari anak-anak itu juga. Mereka memprovokasi Andi dengan mengejek"
“Namun saya memanggil anda juga untuk membantu agar Andi
lebih bisa berbaur dengan anak-anak lainnya”
“Kenapa dengan anak saya bu?” tanya ayah
“hmm..bagaimana ya menjelaskannya. Begini pak, menurut saya Andi
terlalu pendiam sehingga terlihat feminin akibatnya beberapa anak sering
menggangunya. Saya harap dia berubah agar dapat berbaur dengan anak lelaki yang
lain” jawab bu guru.
Ayah diam sementara aku hanya bisa menunduk. Bu guru kemudian
bersiap melanjutkan cerita, namun ayah langsung memotong.
“Tidak perlu dilanjutkan bu, saya sudah mengerti” tukasnya.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku berkecamuk. Aku benci
kelingkingku. Mengapa hanya karena itu mereka bilang aku banci, memang apa
salahnya aku pendiam, apa salahnya kelingkingku ngetrill.
Setelah sampai di rumah, ayah mengajakku ngobrol berdua.
“Ayah, maafkan Andi” ucapku membuka pembicaraan.
“Andi akan berubah, menjadi anak yang kuat dan tidak seperti
banci, menjadi anak yang tidak akan membuat malu ayah lagi” leherku terasa tercekat.
Ayah menatapku tajam, aku siap merima luapan amarahnya.
“Andi, kamu anak yang baik. Kamu samasekali tidak membuat
ayah malu. Kamu bukan banci, merekalah yang banci, karena meraka yang
beramai-ramai mengejekmu” jawabnya lembut.
“Ayah, aku benci kelingkingku” ucapku dengan mata
berkaca-kaca.
Ayah meraih kelingkingku lalu mengaitkan jari kelingkingnya
ke kelingkingku.
“Andi, jangan kamu membenci kelingkingmu, karena ini adalah jari
yang paling istimewa, ini adalah jari yang mengikat janji kita berdua”
“Andi, berjanjilah pada ayah kalau kamu akan selalu mencintai
dirimu sendiri, berjanjilah untuk mencintai kelingkingmu"
“Janji..yah” sahutku parau dan airmataku pun mengalir hangat.
Ada kalanya hal yang paling kita benci menjadi hal yang
paling kita sayangi dan mungkin begitu pun sebaliknya. Tapi biarlah itu menjadi
ceritaku selanjutnya.
-Alin Sujatmiko-
051115
Giggle Box
CS Bandung Writers' Club 6th Meeting
No comments:
Post a Comment