“Come on Ndut. Lo bercanda kan?” Begitulah reaksi dari Bagas saat aku meneleponnya untuk memberitahukan bahwa aku baru saja mengundurkan diri dari perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia yang beroperasi di Papua.
“Gue serius kok Gas dengan keputusan gue,” jawabku kalem sambil menyeruput hot caramel macchiato dari dalam tumbler ukuran tall milikku.
“So could you please explain why the hell you abruptly downgrade your career: from multinational gold mining company to a local engineering local company in Bandung?” tanya Bagas dengan nada nyinyir khas miliknya.
“Life is not always about chasing pots of gold Gas,” tanggapku kalem sambil memindahkan ponselku yang ketumpelkan di kuping kiriku ke kuping kananku.
“If it’s not about chasing pots of gold so what is it about then? Chasing a soul mate?” Bagas makin nyinyir.
Aku hanya tersenyum sebagai tanggapan walaupun percuma Bagas yang kini tengah berada di Gorontalo sana tidak bisa melihat senyum penuh kegetiran itu.
“Jangan bilang lo pindah ke Bandung karena lo masih penasaran sama Cerulean!” tembak Bagas.
Aku hanya terdiam mendengar nama Cerulean disebut. Ia adalah sahabat satu lingkaran pertemanan kami sejak sama-sama kuliah di jurusan teknik sipil di institut yang bertetanggaan dengan kebun binatang Bandung.
Walaupun sama-sama lulusan teknik sipil, kami bertiga menempuh jalur karir yang berbeda.
Bagas yang nggak sopan lulus duluan di antara kami bertiga, kini mendapatkan penempatan di Gorontalo oleh bank BUMN tempatnya mengikuti program ODP (Officer Development Program). Aku yang lulus di periode wisuda berikutnya langsung cabcus ke Papua karena lulus seleksi GDP (Graduate development Program) di perusahaan tambang emas dan tembaga yang beroperasi disana. Sedangkan Cerulian yang lulusnya paling akhir di antara kami memutuskan untuk stay di Bandung, meneruskan usaha kedai kopi yang telah menjadi warisan turun-temurun dari keluarga ayahnya.
Kedai kopi yang terletak di Dago Atas itulah yang merupakan tempat bermulanya pertemanan kami bertiga. Disana kami biasa menghabiskan waktu baik untuk sekedar nongkrong-nongkrong maupun berjibaku mengerjakan tugas dan laporan praktikum yang seabrek-abrek banyaknya. Di kedai kopi itulah aku jatuh cinta dengan Cerulean yang suatu kali menjadi barista yang membuatkanku secangkir chocolate espresso latte lengkap dengan latte art berbentuk kepala singa, karakter hewan favoritku, di atasnya.
“Halo Ndut! Ndut! Lo masih hidup kan disana?” ucap Bagas yang kesal akibat adanya dead air di percakapan telepon kami.
“Iya Gas masih.”
“Ndut, sebagai teman Cerulean memang orang yang super baik dan menyenangkan tapi bagaimanapun juga dia itu playboy yang gonta-ganti pacar cem gonta-ganti sempak. Dan lo tahu benar akan hal itu kan?”
“Yeah maybe he’s just still looking for his heart’s lonely missing piece Gas makanya dia labil gonta-ganti pacar gitu,” aku coba membela Cerulian walaupun apa yang dikatakan Bagas memang benar adanya.
Sebenarnya dulu aku sengaja menerima tawaran bekerja di Tembagapura, Papua untuk pergi sejauh-jauhnya dari Cerulean yang hobi banget gonta-ganti pacar. Aku yang terlalu konvenional harus memaksakan berpuas diri tetap berada di dalam lingkaran pertemanan kami karena aku terlalu takut menyampaikan perasaanku padanya.
Aku berharap jarak dan waktu bisa memudarkan apa yang kurasa pada Cerulian.. Ternyata aku salah. Beberapa minggu yang lalu, sore di Tembagapura sedang cerah-cerahnya. Langit biru tak berawan menaungi kota dengan curah hujan tertinggi di Indonesia itu. Aku sangat cinta birunya langit. Sama seperti rasa cintaku pada Cerulean yang kebetulan secara etymology bermakna semburat biru yang menyerupai warna langit.
AKu menarik mengambil nafas cukup dalam dan menghembuskannya pelan-pelan sebelum akhirnya melanjutkan, “Gas, I just want to be as close as possible to him. I still wait for the moment he will proclaim ‘Eureka’ for finding me as the lonely missing piece he looks for.”
--//--