Showing posts with label #Moemoe Rizal. Show all posts
Showing posts with label #Moemoe Rizal. Show all posts

Saturday, December 5, 2015

Orangutan

Halo. Aku orangutan.

Kamu pernah mencintaiku, lho. Kamu menunggu-nungguku pukul empat sore sambil membayangkan dunia imajinasi yang menyenangkan. Saking sayangnya padaku, kamu meremasku sekuat tenaga. Mungkin gemas. Mungkin tidak sabaran. Tidak seperti sebagian kawanmu yang merawatku baik-baik dalam kamar berharganya.

Tapi aku cinta kamu, kok. Meski hanya dua puluh menit. Aku ingat saat itu aku digenggam olehmu menyusuri jalanan komplek yang sepi. Lalu kau berlari membawaku sepanjang pematang sawah. Melompati selokan. Melompati sungai. Melompati jembatan.

Menit ketiga belas kamu bilang kamu bingung, mah gulali kapas atau bp-bp-an. Aku tidak tahu mana yang harus kusarankan. Kamu menghabiskan waktu meminta saran kawanmu juga. Pada akhirnya, kamu mau gulali kapas saja. Dan kamu meninggalkanku bersama anak baru.

Tidak apa-apa. Toh aku akhirnya ketemu anak manis lain seperti kamu. Anak yang ini mulai menceritakanku bahwa di pepohonan, selain aku, mungkin ada kuntilanak. Aku tertawa dan merasa lucu. Karena seumur hidup, aku tidak pernah ketemu kuntilanak di atas pohon.

Tidak apa-apa. Aku suka imajinasimu sebagai anak-anak. Meski tentang kuntilanak. Namun sayang ya, hari ini tidak ada anak-anak yang menungguku lagi, seperti kamu.

Bahkan kamu tidak pernah menungguku lagi. Hari ini, setidaknya, Sultan Mahmud Badarudin yang ditunggu-tunggu. Aku, orangutan, mulai dilupakan. Apalagi sejak koin perak itu sukses menggantikanku.

Tidak apa-apa. Aku paham. Setidaknya aku pernah menghiasi sejarahmu. Membuatmu berdebar-debar memilih mainan yang ingin kaudapatkan. Setidaknya aku pernah membantumu memiliki gulali kapas.

Sampai jumpa, dari aku orangutan yang duduk di atas pohon.

-Moemoe Rizal-
261115
Kupu Bistro
CS Bandung Writers' Club 9th Meeting

Open

Open.

Itu yang tertera di atas suratnya. Seolah kertas kado cantik itu belum cukup

mengundang siapa pun untuk membuka kotak yang terlindung di dalamnya. Aku membolak-

balik bingkisan mungil itu, mencari petunjuk. Sesuatu yang jelas sia-sia, karena pembungkus

kado di mana pun tak akan meninggalkan ruang untuk diintip.

Ketika aku kembali ke atas tempat tidur, menghempaskan tubuh dengan nyaman di atas

bantal-bantal, kubuka kado kecil itu. Kurobek saja, kubiarkan kertasnya berserakan di atas

lantai. Aku bukan Arvino yang akan membuka kadonya hati-hati, berencana menggunakannya

lagi suatu saat di masa depan. Jadi dalam lima detik, kutemukan kado itu bercangkangkan

kotak kardus kecil berwarna cokelat.

Mungkin isinya cincin lamaran. Mungkin isinya kunci mobil Mercedes Benz yang

kuidam-idamkan. Mungkin isinya gunting kuku. Apa pun dapat bersembunyi di balik kotak

sebesar 5 x 5 cm ini.

Namun begitu kubuka tutupnya, aku hanya menemukan secarik kertas yang digulung.

Warna kertasnya putih biasa, tampak disobek dari HVS 70 gram yang baru diambil dari

kawanan rimnya. Di dalamnya tidak ada surat cinta, maupun puisi-puisi romansa. Hanya satu

kata saja. Dengan tulisan ceker balado.

“Maaf.”

Aku menyunggingkan senyum sebelah dan memutuskan untuk melupakannya.

Esok paginya, aku mendapat kado yang lain. Kali ini bentuknya digital. Notifikasi

kehadirannya berkerlap-kerlip di ponselku, mencari perhatian. Aku menemukannya tepat ketika

aku terbangun dari tidur. Ada kiriman media Whatsapp yang di tengah gambarnya terpampang

segitiga mengarah ke kanan. Ini kiriman video. Dari Arvino. Pesan pengiring kiriman media itu

hanya satu kata: Open.

Jadi, aku mainkan videonya.

Ada Arvino. Di kamarnya yang mungil. Di bawah selimut putih gading bertotol-totol

cokelat, yang biasanya sering kuledek karena persis jerawat. Arvino duduk menyandar.

Kepalanya menunduk merasa bersalah, wajahnya tampak menyesal. Dia membiarkan lima

belas detik pertama tanpa apa pun. Dia menunduk. Menunduk. Melirik ke kamera, tetapi lalu

menurunkan pandang lagi karena merasa bersalah.

Detik keenam belas Arvino bicara. “Maaf,” katanya.

Lalu, ada lima detik lain yang sunyi. Arvino mulai menunjukkan wajah memelas seperti

anak anjing. Biasanya, aku luluh melihat ekspresinya yang seperti ini. Sekarang pun, aku luluh

lagi. Namun aku menolak menyerah. Aku akan tetap mengabaikannya.

“Maaf, Ayank. Maaf. Maafin aku,” katanya, pada detik kedua puluh tujuh dan seterusnya.

“Maafin aku.” Lalu bahunya berguncang dan dia benar-benar menyesal.

Video itu berakhir pada detik keempat puluh tiga.

Kuputuskan untuk kulupakan dan berlanjut mandi saja. Aku harus pergi kuliah pagi ini.

Aku tidak boleh terlambat.

Namun, aku tahu, aku dan Arvino tidak akan bertengkar lebih lama dibandingkan

microwave memanaskan makaroni panggang. Baru dua belas jam sejak terakhir kali kami

beradu argumen, dan jujur saja, ini rekor baru yang berhasil kami capai.

Biasanya, jika aku dan Arvino bertengkar, aku akan memohon-mohon kepadanya dalam

empat puluh menit. Kalau aku yang salah, aku yang meminta maaf. Kalau Arvino yang salah,

aku juga yang meminta maaf. Entahlah, kami sudah terlalu nyaman dengan sistem seperti itu.

Arvino nyaman diperlakukan bak Ratu Elizabeth, di mana siapa pun yang melakuan kesalahan,

semua meminta maaf kepada ratu. Dan aku, karena terlalu mencintai Arvino, rela meminta

maaf sekali pun itu bukan salahku.

Kali ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan kami, aku membiarkan diriku

tidak meminta maaf setelah lebih dari satu jam pertengkaran.

Sudahlah, lupakan.

Memasuki makan siang, aku sudah pulang ke kosan dan menenggelamkan diriku dalam

game online. Inginnya aku meminta maaf kepada Arvino dan mengembalikan romansa kami ke

manja-manjaan seperti biasa. Namun sekali lagi, tekadku sedang kuat. Aku ingin mengulur

waktu maafku.

Sekitar pukul dua siang, pintu kamarku diketuk. Aku menoleh dan bertanya, “Siapa?”

Yang mengetuk di luar tidak menjawab siapa namanya. Dia malah berkata, “Open.” Dan

aku tahu itu Arvino.

Karena aku bukan manusia yang kekanak-kanakan, kubiarkan Arvino masuk ke dalam

kamarku. Dia berwajah sama seperti dalam video. Menunduk. Memelas. Malu. Merasa

bersalah. Berharap aku mau memaafkan dia. Arvino duduk di atas ranjang, memilin-milin ujung

bajunya, dan sesekali melirikku, memintakuuntuk bicara duluan.

Namun aku tidak bicara duluan. Jadi, “Maaf,” katanya, memulai pembicaraan.

Aku membiarkan dua menit dalam kamar itu sunyi tanpa apa pun. Hanya diisi

kecanggungan dan pelasan minta maaf. Sampai akhirnya aku berkata, “Oke.”

“Maaf, Yank,” ungkap Arvino lagi.

“Iya. You don’t need to, actually. Aku udah maafin kamu satu detik setelah kita

berargumen.”

“Tapi kamu nggak ngebales apa pun pesan dari aku.”

Aku tertawa kecil. “Iya, kalau gitu aku yang minta maaf soal itu. Aku pengen Ayanknya

punya waktu aja buat merenungkan diri. Tapi aku udah maafin kamu sejak awal. Selalu maafin

kamu, atas apa pun yang kamu lakukan.”

Arvino mendekatiku. Memelukku. Dan bermanja-manja meminta maaf.

“Maaf,” bisik Arvino sekali lagi.

“Iya, sayang.” Kukecup pipinya. “But please, next time, appreciate yourself.”

“Iyaaa...,” dengungnya. “Iya, maaf.”

“You are beautiful in my eyes. So please, jangan benci sesuatu yang sebenarnya aku

cintai. Oke?”

Jadi begini, semalam kami bertengkar gara-gara aku menggodanya. Kubilang, “lebar”

pada salah satu foto terbarunya di Instagram. Dan Arvino marah. Dia tersinggung karena aku

secara tidak langsung mengatainya gendut. Yah, secara teknis memang begitu. Namun aku

kan hanya menggodanya. Kemudian Arvino marah, beradu argumen denganku, dan

menyatakan opininya secara jelas supaya aku tidak mencandainya untuk sesuatu yang

menyerempet insekuritasnya.

Kemudian, aku mulai balas memarahi. Karena aku tidak suka ketika dia membenci

bentuk tubuhnya. Sudah kukatakan berkali-kali kepadanya, bahwa aku mencintainya atas

bentuk tubuhnya itu juga. Apa pun itu bentuknya.

“Tapi society hates this kind of body,” kata dia membela.

“Well that’s society. And I’m not society. Who do you listen to, Vino? Is it me, someone

who is obviously in love with you? Or is it society, who expect you to be what they thought is

perfect?”

Arvino menunduk.

“What I though is perfect, adalah ketika kamu menerima diri kamu sendiri. Ketika kamu

membuka ruang kecil insekuritas dalam hati kamu itu, lalu mulai kamu isi dengan pemahaman

bahwa, di sini, aku kekasihmu, melihatmu sebagai seseorang, bukan sebagai sesosok jasad

bernyawa.”

Arvino memelukku lebih erat. Sangat-sangat menyesal. “Maaf,” katanya terakhir kali.

Aku tersenyum dan memberikan argumen terakhir. “Aku akan selalu maafkan sebelum

kamu minta maaf. So, Ayank, please open yourself to a healthier mind. You are healthy. And

you are beautiful.” Kukecup bibirnya. “Open.”

-Moemoe Rizal-
191115
Jakarta

Wednesday, November 25, 2015

Punggung

“Oi. Apa tantangan hari ini?”

“You decide.”

“Yakin, nih?”

Dia ngangguk.

Sambil ngangkat dagu, belagak mau ngasih tantangan maut, gue mulai muter otak. Jelas, tantangannya mesti bisa gue menangin, tapi doi masih bisa bersaing kompetitif. Biar adil dong, Bro. Biar nggak berat sebelah. Gue Cuma butuh waktu sepuluh detik buat meletusin ide, “Nyelamatin anak kucing sebanyak-banyaknya!”

Dia tercengang kaget. Sambil ketawa. “What? What kind of challenge is that?”

“Yaaa… challenge is kind is that,” jawab gue, sengaja harus ngaco bahasa Inggrisnya, biar anti-mainstream.

“How does it work?” Dia mulai ngangkat satu alis. Biasanya gue suka kesengsem kalo mukanya mulai sok-sok nantang kayak begitu. Seksi aja Bro ngelihatnya.

“Yang menang challenge, yang paling banyak nyelamatin anak kucing hari ini.”

“How do we know that we really help a cat?”

“Yaaa… by photo-photo, selfie-selfie, before after and so on and so on.”

Dia ketawa geli ngedenger gue. “So, before we really help these kittens, we have to make sure that we take a picture of them, then help, then take a picture again?”

“Iya. So, so lah, pokoknya. Like that, like that.”

Dia geleng-geleng kepala, masih sambil ketawa geli. “Okay. Challenge accepted.”

Jadi gini, Bro. Gue, ama si dia ini nih, setiap hari punya satu tantangan yang mesti diselesain sebelum jam tujuh malem. Iseng-iseng aja. Kayak anak alay, kagak ada kerjaan. Tapi lumayan, silaturahmi gue makin terasah ama ni orang, jadi niat gue buat pedekate juga lancar jaya 86. Kadang tantangannya tuh siapa yang paling banyak makan daun singkong di nasi padang, siapa yang paling cepet nyampe ke kampus, siapa yang paling murah naik angkot, atau kemaren tantangannya siapa yang paling banyak dapetin kacang ijo pake duit lima ribu perak.

Setelah tantangan selesai, pemenangnya boleh ngelakuin apa pun ke si yang kalah. Sejauh ini doi yang paling sering menang. Atau dalam kamus gue, guenya yang banyak ngalah. Hihi. Biar dia makin sayang aja ama gue, Bro. Biasanya, permintaan dia suka aneh-aneh kalo gue yang kalah. Suruh bersihin ban mobil tetangga, lah. Suruh ngembaliin buah mangga ke pohonnya, lah. Suruh jagain lilin di tukang sate madura, lah—padahal nggak ada yang berubah jadi babi, tapi tetep aja gue suruh jagain. Tiga hari yang lalu pas gue kalah, gue disuruh kenalan ama kuntilanak, terus foto bareng.

“So, what’s the prize for today?” tanya dia.

“Kamu dulu,” kata gue.

“Okay. If I win this challenge, I want you to clean my closet. I’ve been dying to look for a spare time in arranging all those messy stuff. Argh.”

“Siaaappp!” jawab gue.

“How about you?”

“Gue? Gue pengen peluk lo.”

“Hug me? Why?”

Gue ngangkat bahu. “Pengen aja. Entar gue kasih tahu alasannya.”

Lalu, berpisahlah gue ama dia. Dia pergi ke kampus, gue pergi ke studio musik gue. Kagak ada jadwal latihan atau apa sih. Jadwal gue hari ini ya menangin challenge yang gue buat sendiri. Jadi, gue datang ke gang-gang, gue set biar kucing-kucing yang gue temuin berada dalam bahaya. Udah gitu gue foto, gue selamatin, gue foto lagi. Kan lumayan. Selain bikin ini kucing bisa latihan jadi fotomodel, gue juga belajar fotografi.

Kucing pertama yang gue temuin warnanya oranye-putih, agak kurus dan matanya ijo. Tapi pas gue samperin, dianya kabur. Sampe ngelompat ke halaman rumah orang. Gue kejer dia sepanjang lima gang di RT sebelah, kagak berhasil juga. Pantesan suka ada istilah kucing garong, ya. Abisnya mereka kalo kabur ahli banget. Padahal nggak akan gue rampok atau perkosa juga. Nggak ngerti gue ini kucing barusan kenapa somse amat.

Kucing kedua punyanya Adis, namanya Poxi. Karena gue udah tanggung nyasar ke gang RT sebelah, ya udah gue mampir di sana sebentar. Gue fotoin kucing itu kayak yang mau jatuh dari jemuran kosannya Adis, lalu gue tolongin, dan gue foto lagi pas kucingnya udah selamet. Dibantuin Adis malah. Sampe 35 take gambar, padahal yang diambil Cuma satu.

Lama-lama ini jadi kayak yang nggak meyakinkan. Abisnya si Poxi kagak pernah main ke atas jemuran. Kok kayaknya idiot aja dia mendadak berubah kepribadian dan muncul di atas sana sampe-sampe gue mesti nolongin segala.

Tapi gue move on, Bro. Gue cari kucing lain.

Kucing ketiga kucing liar lagi. Yang lebih ramah-tamah, tenggang rasa, rajin menabung, dan apa pun yang jadi judul buku paket PPKn. Gue kondisiin dia ada di atas pohon jambu deket rumahnya Kades. Gue fotoin. Lalu, gue turunin lagi, dan gue fotoin lagi karena gue berhasil bawa doi ke atas tanah. Fotonya sih meyakinkan. Apalagi gambarnya agak-agak blur, jadi kesannya kayak yang bener-bener darurat gitu.

Cuman bahlulnya, begitu selesai photoshoot, ini kucing langsung lompat naik ke atas pohon jambu, dan bobo di sana. Sial. Kata Pak Kades, emang di situ rumahnya.

Udahlah, ya. Si dia nggak perlu tahu kalo kucingnya nggak pernah perlu diselamatin dari atas pohon.

Kucing berikutnya? Banyak, Bro. Sampe jam tujuh malem gue udah syuting ama sepuluh kucing. Nyaris di banyak gang dan kampung-kampung. Ada yang ceritanya kejebak di gorong-gorong, ada yang nyaris digoreng sama tukang bala-bala, ada yang nyaris ditendang sama tukang nasi padang, ada yang lagi dikejar anjing chihuahua, ada yang nyangkut di jendela, sampe ada yang lagi nyeberang gue potoin aja… padahal tuh kucing udah cukup dewasa dan berhati-hati dalam menyeberang. Cuma tetep aja pas di seberang gue ajak foto bareng. Ceritanya, gue yang bantu dia nyeberang.

Jam tujuh malem, gue ketemu lagi ma dia. Lokasinya di atap rumah gue. Gue ajak ke sana. Buat lihat bintang-bintang. Biar romantis. Biar kayak pujangga.

“How was your day?” tanyanya.

“Penuh kebaikan,” jawab gue, berusaha terdengar bijak. “So your day how was?”

Dia ketawa. Selalu ketawa ngedenger bahasa Inggris gue. “It was fun. But I didn’t get many pictures of me helping cats in emergency.”

“Coba mana fotonya?”

Dia ngasih tunjuk tiga foto doang. Fotonya sih believable, kayak bener-bener emang butuh bantuan tuh kucing. Ada yang kejepit di pagar. Ada yang masuk ke sumur. Dan ada yang lagi nyari anak-anaknya. Gue sampai nangis Bro lihatnya.

“Your turn,” kata dia.

Ya udah, gue tunjukin semua foto yang gue dapet. Dia ketawa. Jumlahnya sih banyak. Dan kayaknya dia ngeh juga kalo gue malsuin nyaris semuanya kayak anggota DPR cuci uang hasil korupsi mereka.
“Looks like you win, tonight. Congratulations.”

Gue lemparin cengiran lebar.

Dia lalu ngerentangin tangannya, membiarkan tubuh dia buat gue peluk. “So, come here. Hug me.”

Dengan senyum yang lebih romantis, gue berjalan muterin dia. Berjalan ke belakang dia. Lalu gue peluk dia dari belakang.

Dia heran. “You want to hug me from the back?”

“Yoyoy.”

“Why?”

“Gue pengen nyentuhin badan gue sama punggung lo.”

Dia ketawa. “And why is that?”

Giliran gue yang ketawa. “Meluk dari belakang gini tuh, ngerangkul badan lo dari punggung, ngebikin gue bisa ngelindungin lo lebih erat. Lebih waspada. Dan lebih aman.”

“That’s not even related.”

“Related, kok,” sanggah gue. “Lo lihat tangan gue sekarang? Tangan kan organ yang paling lincah dalam melindungi diri. Karena gue meluk dari punggung, tangan gue bisa terjulur ke depan, posisinya lebih deket sama hati lo. Lebih aman buat ngelindungin lo.”


Dia nggak ketawa. Tapi senyumnya yang tulus bisa gue rasain dari pipi kami yang akhirnya bertemu. Lalu, sambil berbisik, dia berkata, “You know what. I love today’s challenge. And I’m glad that you won the game.”

-Moemoe Rizal-
121115
Cafe Halaman

CS Bandung Writers' Club 7th Meeting

Voted as Favorite Story of The Night

Saturday, November 21, 2015

Kelingking

“Halo, apa kabar?”
Dia tidak menjawab. Wajah pucatnya membalas sapaanku.
“Regina? Lebih enakan sekarang?”
Kali ini, dia menoleh. Senyumnya mengembang terpaksa. Aku menaruh bunga favoritnya di atas meja. Di sebelah boneka usang yang selalu dia peluk selama 28 tahun terakhir, setiap malam. Gelas kaca berisi air putih tinggal setengah. Artinya, dia sudah meminum obatnya.
“Aku udah lakuin semua yang kamu minta. Tadi pagi aku pergi ke rumah teman kamu, Borin. Yang rumahnya di Leuwigajah itu. Jauh. Haha. Dianya juga nyaris berangkat kerja. Kalo aku telat dikit aja, mungkin aku nggak akan ketemu dia. Eh, dia tuh pake jilbab ya kalo kerja? Terakhir kita ketemu dia kan, dia nggak pake kerudung gitu. Yang rambutnya sebahu itu, kan? Pangling aja aku pas lihat dia pake hijab.”
Regina masih mengembangkan senyum mendengar ceritaku. Dia mengedip, mengganti anggukan yang berat dia lakukan. Sebisa mungkin aku menahan tangis.
“Salam dari Borin, katanya. Nanti dia main ke sini hari Sabtu. Mau dia bawain cheesecake yang dikasih buah naga. Cheesecake kesukaan kamu, Regina. Hahaha….” Aku duduk di atas ranjang, tepat di sampingnya. Kubelai lengannya yang sekarang kurus. Kukirim doa-doa terbaik seraya aku menyusurkan jemariku di permukaannya. “Nanti aku mau coba cheesecake-nya. Boleh?”
Regina mengangguk menggunakan kedipan lagi.
“Nah, terus habis nganterin Borin ke kantornya dia, aku langsung pergi nyamperin Sania. Dia pengen banget ketemu kamu, tapi tahulah dia pegawai bank. Udah gitu rumah kamu jauh dari banknya dia. Begitu kerjaan kantor beres, harus ketemu macet. Maaf banget belum bisa jenguk. Tadi aja aku ngambil antrian CS dong, biar bisa ngobrol ama dia. Hahaha….”
Regina tertawa menggunakan kedipan lagi.
Kugenggam tangannya yang kurus dengan lembut. Kututup satu sudut selimut yang tersingkap. Selama beberapa saat, aku hanya menatapnya penuh doa. Menunggu dua atau tiga detik sebelum aku melanjutkan cerita.
“Dan aku siangnya ketemu Jay,” lanjutku. “Iya. Mantan kamu. Dia cemas sebenernya, cuma nggak bisa jenguk kamu karena pacarnya yang sekarang posesif abis. Kamu tahulah, apa pun yang berhubungan sama kamu, langsung pacarnya blokir. Aku aja ketemunya sebentar, cuma ngasihin barang-barang dia yang masih ada di kamu. Semuanya udah aku kumpulin kemarin. Kecuali topi merah yang kamu bilang itu, aku nggak nemu. Paling entar kalo aku ada waktu luang, aku cari lagi dan kasihin ke Jay. Salam dari Jay juga. Cepet sembuh katanya.”
Regina paham, menggunakan kedipan lagi. Kali ini senyumnya tidak mengembang. Mungkin karena kisah tentang Jay menyimpan duri yang menyakitkan dalam hatinya.
Aku mulai mengusap keningnya, menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh menghalangi pandangannya. Regina terasa dingin. Bibirnya memutih. Selama dua atau tiga menit aku memberi jeda atas kisahku. Kutatap Regina dan kutemani dalam diam. Kugenggam tangannya, kuamati dadanya yang bergerak dalam napas, kutatap matanya yang menatap kosong padaku.
Kadang tatapannya menajam. Kadang tatapannya memohon pertolongan. Kadang tatapannya ingin mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
“Habis ketemu Jay, sebelum aku nyampe ke sini, aku juga ke rumah ibuku. Aku salamin ke Ibu. Aku ceritain soal kamu. Sesuai yang kamu minta kemaren, Regina. Ibu doain, semoga cepet sembuh. Semoga bisa cepetan main lagi ke rumah Ibu. Terus, oh, bentar.” Aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil cookies cokelat buatan Ibu, yang kebetulan sore kemarin dibuat khusus untuk Regina. Ibu tahu Regina suka cookies. Pertama kali Regina main ke rumahku, dia menghabiskan semua cookies cokelat dalam toples. Kami semua tertawa dan ibuku tidak pernah melupakannya. “Ini. Dari Ibu,” kataku, meletakkan cookies itu di atas meja, di sebelah bunga favoritnya. “Dikasih doa-doa. Supaya cepet sembuh.”
Regina tertawa, menggunakan kedipannya lagi.
Aku kembali duduk di sampingnya. Memberi jeda dua belas hingga tiga belas menit dalam ceritaku. Kutatap Regina lagi. Setiap senti tubuhnya. Setiap detak napasnya. Setiap kedipannya yang rapuh. Menit kedelapan, aku memeluknya sejenak, mencium aroma conditioner yang khas dari rambutnya. Kukecup keningnya dan kembali kubisikkan harapanku di sana.
Lalu, aku membaringkan tubuhku di samping Regina. Kurangkul dia. Kuajak menatap langit-langit kamar seolah menatap bintang-bintang. Kuusap bahunya, seolah menenangkan anak kecil dari tangis ketakutannya. Kubiarkan Regina bernapas di leherku, seolah menjadikan diriku benteng terkuatnya menghadapi musuh.
Yah, aku mau kok menjadi bentengnya. Menjadi seseorang yang berkesempatan melindunginya.
Setelah kurasa cukup untuk melanjutkan cerita, aku bilang kepadanya, “Aku mau ngasih kamu satu rahasia paling rahasia sejagad raya. Kamu mau dengar?”
Regina mendongakkan kepalanya menatapku. Senyumnya mengembang lebih lebar. Aku tahu, Regina senang rahasia. Regina senang menguak apa yang hakikatnya tersembunyi.
“Rahasianya sepele. Tapi ini rahasia. Sampai sekarang tidak ada yang tahu soal ini. Mau itu Borin, mau itu Sania, mau itu Jay, mau itu ibuku. Atau semua teman-temanku. Paling Cuma Tuhan yang tahu. Tapi kan Tuhan selalu curang. Tuhan selalu tahu apa yang kulakukan. Bahkan tahu semua rahasia-rahasia jagad raya.”
Dalam rintihnya yang menyakitkan, kudengar Regina berkata, “Apa?”
Suaranya seperti kayu lapuk yang nyaris patah. Berderak-derak dan membuat ngilu.
“Rahasianya….” Kukecup keningnya sebelum menjawab. “Aku mencintaimu, Regina.”
Dia memelukku lebih erat, melawan rasa sakit atas tubuhnya yang lemah. Kurasakan dia membenamkan wajahnya di dadaku, merebahkan jiwanya dalam perlindunganku. Lalu, sangat-sangat-sangat jelas… kurasakan bibirnya tersungging. Melukis senyum. Aku bisa merasakannya.
“Aku mencintaimu, Regina,” ulangku. “Dua jam lagi kamu akan melakukan operasi besar atas tubuhmu. Dan aku berjanji aku akan optimis menghadapi operasi itu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mengirimkan kabar baik kepada teman-temanmu. Kepada Jay, bahkan kepada ibuku. Aku berjanji, rahasia itu akan tetap menjadi rahasia di mana hanya kamu dan Tuhan yang tahu.
“Aku berjanji, aku akan mati-matian menjaga rahasia itu tetap seperti itu. Karena apa pun yang terjadi, kamu sudah melukis satu warna baru dalam hidupku. Warna yang tidak teridentifikasi enam belas juta warna layar ponsel. Warna itu kamu. Hanya kamu yang punya.” Kukecup keningnya sekali lagi. “Sekarang, Regina, kamu mau berjanji nggak, bahwa kamu bakal berjuang menghadapi operasimu?”
Regina mengedip, menjawab iya. Lalu, dia mengangkat tangan kirinya. Mengacungkan jari paling lemah dan mungil.
Kelingkingnya.
Dengan sabar mata berair, kuacungkan kelingkingku dan kukaitkan di kelingkingnya.

Terima kasih, Regina. Aku tahu kamu akan selalu berjuang. 

051115
Giggle Box
CS Bandung Writers' Club 6th Meeting

Hore

Haha. Konyol. Di antara semua ide brilian yang muncul di tengah meeting, cuma ide cewek dari check in agent ini yang paling bikin kening gue ngerut. Ini maskapai swasta multinasional yang lagi mau rebranding. Bukan mau pesta ulang tahun.
“Kita mungkin ambil consideration sama tema Sky Luxury atau Your Home In The Air. Gimana?” tanya gue ke peserta rapat. Sebagian orang ngangguk. Mungkin antara setuju atau pengen buru-buru take a break. “Oke sip, kita break setengah jam. Lanjut lagi jam… berapa ini? Oh, jam tiga. Kita bahas next available option-nya entar.”
Ruangan pun sepi dalam waktu satu menit. Semuanya menghambur keluar ruangan kayak lagi simulasi emergency landing di pesawat.
Oke, Bos. Jadi gini. Nama gue Tom. Gue kerja di maskapai Indonesia Airbridge, sebuah maskapai regional Asia Tenggara yang tahun ini lagi mau rebranding image dan segala-galanya. Nah, gue kebagian sebagai head project for promotion. Gue bertanggung jawab buat nemuin tema rebranding maskapai, termasuk nyari desain livery yang bisa di-apply ke pesawat, slogan untuk website, cara baru greeting announcement di dalam kabin pesawat, dan lain sebagainya. Gue ganteng, Bos. Kali aja lo butuh informasi itu. Sebab niat awal gue ngelamar ke sini adalah jadi pramugara, biar makin diakui ganteng. Sayangnya gue terlalu pinter kali, ya, jadinya yang nge-outsource gue malah ngangkat gue jadi ngantor.
Lebih parah lagi, Bos, gue sekarang ditunjuk buat jadi bagian penting dalam rebranding. Ya blah bloh lah gue, gimana caranya dapetin ide buat rebranding sebuah maskapai besar. Maka dari itu, gue ngundang nyaris semua divisi di station maskapai gue buat ngumpul di ruang penting. Orang-orang yang penting aja. Yang kalo disuruh mikir ya beneran mikir, bukan sekadar ngupil sambil garuk-garuk selangkangan.
Ada dari divisi flight crew, ground crew, manajerial, ramp, customer service, check in, PSC, dan bla bla bla lain sebagainya Bos, karena yakin lo juga nggak butuh informasi itu. Intinya banyak orang. Mereka semua ngumpul lalu masing-masing nyerahin satu ide tentang apa yang harus menjadi tema rebranding maskapai.
Semuanya oke, Bos. Ada-ada aja ide mereka. Tampak mewah, mahal, dan megah. Ngalahin Garuda Indonesia dan Singapore Airlines, lah. Kami semua ngabisin dua jam buat nyortir mana yang bisa jadi pilihan.
Nah dari semua itu, ada ide konyol datang dari satu cewek. Nama ceweknya Megan. Dia staf check in. Orangnya unyu, bohai, kalo makan nasi goreng pasti dia abisin dulu mentimunnya, baru nasinya. Gue sering ketemu ama dia. Gue deket ama dia.
Okelah, Bos. Gue ngaku. Gue lagi ngejer dia buat jadi cewek gue. Susah amir buat dapetin nih cewek. Jalan pikirannya beda. Jalan pulang dari kerja aja beda dari jalan dia berangkat ke bandara. Nyaris gue ragukan dia sebagai manusia. Megan nggak secakep Megan Fox. Dan suaranya nggak sebagus Meghan Trainor. Cuma kalo udah senyum sambil nyengir, gue suka merinding sebadan-badan, Bos. Persis kayak kerasukan kuntilanak aja gimana. Apalagi pas gue ngobrol lebih jauh ama dia, gue tahu ada yang beda dari dia.
Makanya Bos, gue sengaja ngumpulin berbagai orang dari berbagai divisi buat rapat. Kali aja dia bakalan show up. Eh beneran dia nongol. Abisnya di antara staf check in, Cuma dia yang nggak males-malesan kerja. Sisanya lebih mikirin entar sore mau makan mi kocok di mana atau gimana cara nyantet ini penumpang yang nyebelin.
Nah, setelah semua ngumpulin ide itu, kami semua kaget pas ada satu ide murahan di antaranya. Temanya HORE. Ajaibnya, itu datang dari Megan.
“Kenapa hore?” tanya gue dalam rapat.
“Karena kita bersuka cita menyambut rebranding. Begitu, kan?” jawabnya. Sebagian orang pas rapat tadi ketawa. Atau mungkin keselek jakunnya sendiri.
Aneh kan, Bos, ngapain dia bikin tema HORE untuk maskapai full service yang harusnya mewah dan mahal ini.
Begitu rapat break, gue langsung nyamperin dia. Jelas buat pedekate dan godain aja.
“Idenya bagus,” kata gue, pura-pura berdusta.
“Makasih,” jawab Megan. “Aku bikin karena aku lagi happy.”
“Kenapa happy?”
“Ya karena bos aku ngirim aku ke rapat ini buat ikut nyumbang ide. Dari dulu aku pengen bikin tema HORE buat rebranding. Tapi siapa sih aku ini, Cuma dari bagian check in.”
“Ngebet banget pengen tema HORE. Kenapa sih, Meg?”
“Kan udah aku bilang di rapat tadi. Untuk menyambut suka cita.”
“Kenapa harus, maksudnya? Kita kan bisa sedikit mewah-mewahan dengan kata-kata, supaya pasar kita naik ke penumpang middle class ke atas.”
“Jadi penumpang middle class ke bawah nggak perlu naik pesawat kita?”
“Bukannya kalian sering bete kalo ketemu penumpang kampungan?”
Megan ketawa. “Nggak tau sih kalo temen-temen aku mikirnya gitu. Buat aku, penumpang kampungan itu menghibur. Aku bersyukur mereka bisa terbang bareng maskapai kita.”
“Hah? Kenapa?”
“Karena sebagian dari mereka kan baru pertama terbang. Pasti jadi pengalaman nggak terlupakan buat mereka terbang naik pesawat.”
Gue masih nggak ngerti, Bos. Jadi gue bilang lagi ke dia. “Tapi penumpang kampungan kadang suka ngerusak kabin. We don’t really need them to fly around.”
“Kok kamu gitu, sih? Penumpang kampungan juga bayar lho naik pesawat kita. Maskapai ini bisa tetep terbang karena ada penumpang kampungan yang ikutan nyumbang duit. Kenapa nggak butuh mereka?”
“Eh, maksudnya bukan gitu. Konsep kamu itu, sayang banget kalo cuma sampe situ. Kesannya nggak high class.”
“Nggak perlu high class, kan?”
“Kenapa kamu sayang banget sama penumpang middle class ke bawah? Apa alasannya?”
“Nggak ada alasannya.” Megan mulai ngerutin alisnya. Mungkin dia kesinggung sama kata-kata gue. Dia lalu ngelanjutin, “Buat aku mereka sama. Sama-sama duduk di pesawat, dalam kabin yang sama, pesawat sama, dan terbangnya juga barengan ama yang lain. Nggak misah-misah duduk di sayap atau di mana-mana. Kalo kamu nggak suka ide HORE aku, ya udah. Aku aja nggak mempermasalahkan pas ide aku nggak kepilih. Kenapa kamu jadi ribet?”
“Saya pengen tema kamu ikut kepilih juga. Bonusnya kan gede kalo tema kamu bisa kepilih.”
“Eh, nggak perlu, Mas. Aku nyumbang ide ya nyumbang ide. Bukan karena pengen bonus atau apa. Kalo nggak kepilih ya udah.”
“Kok gitu? Kenapa nggak mau bonus?”
Megan mendengus. Tampak mulai bete ama kerempongan gue. “Mas, aku kerja karena aku cinta kerjaanku ya. Aku nggak mau prioritas utama aku gaji melulu. Ya aku butuh duitnya, tapi kalo aku aja nggak ikhlas ngerjainnya, entar uang yang aku makan jadi pahit juga. Jadi ketika kantor aku sendiri minta ide buat rebranding, ya aku ngelakuin itu karena aku seneng. Semuanya dimulai dari rasa senang aku.”
AKhirnya cewek itu ninggalin gue di koridor dan nggak muncul lagi sampe rapat dimulai kembali. Seriusan, gue jadi ngerasa nggak enak udah ngomong gitu ke dia. APa dia tersinggung? Tapi satu hal yang pasti, gue udah berpikir selama dua puluh menit terakhir. Ada yang perlu gue ubah.
“Oke, udah kumpul semua? Mari kita lanjutin lagi rapatnya. Selama break tadi saya dapat masukan dari beberapa teman. This would sound silly, but I thought, why don’t we give it a shot? Saya mau nambahin satu tema yang bisa kita jadiin pilihan.”
“Tema apa Pak Tom?”
“Hore.”
Sebagian orang di ruangan tertawa lagi. “Kok muncul lagi ide itu, Pak? Kenapa?”
Dengan percaya diri gue bilang, “Karena rebranding ini sukacita dari maskapai. Gue setuju sama alasan itu. Jadi, kenapa nggak kita masukkan sebagai pilihan?”

Pada akhirnya, hore tetap nggak kepilih sebagai tema rebranding karena hasil voting lebih memilih Sky Luxury sebagai tema yang cocok. Tapi gue ngerasa udah ngelakuin hal yang benar. Alasan gue bukan sekadar suka cita, atau karena gue naksir orangnya. Tapi karena Megan benar: Rebranding adalah saatnya kita berkata hore. Bagi semuanya. Bagi penumpang high class atau low class. Bagi mereka yang ingin bersuka cita.

291015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 5th Meeting

Voted as 2nd favorite story of the night

Boneka

Halo, namaku Karina. Aku teman baiknya Arta. Kami bahkan tinggal di rumah yang sama.

Dibandingkan gadis lain, kamar Arta tampak sepi. Wallpaper kamarnya merah muda, persis

bocah perempuan berumur sebelas tahun. Persis semua teman sebayanya. Namun Arta nggak

mengisinya dengan begitu banyak boneka. Aku tahu itu karena aku bisa menghitung apa saja

mainan yang ada di sana.

Ada Teddy Bear lusuh yang pernah jatuh ke selokan. Ada boneka monyet berkaki panjang yang

kaki kanannya robek. Ada pula boneka bisque dari Prancis yang sempat popular di rumah ini

ketika film Annabelle tayang di TV.

Aku nggak pernah suka boneka bisque itu. Karena memang mirip Annabelle. Rambutnya

keriting, gaunnya jadul, dan kulitnya ada bercak-bercak kekuningan. Kalau aku bermain boneka

bersama Arta, aku tidak akan meminjam boneka bisque itu.

Di luar boneka-boneka itu, ada banyak Hello Kitty dan figurin empuk dari Walt Disney.

Jumlahnya sedikit, sungguh. Paling ditambah boneka hadiah dari theme park atau dari paman

yang baru pulang dari Australia.

Mengapa aku membahas boneka? Karena aku yakin, setiap malam boneka-boneka itu hidup.

Aku belum pernah melihatnya, sih. Namun mereka seolah-olah hidup. Lihat saja mata boneka

monyet itu. Rasa-rasanya mata itu akan mengedip, meskipun pada akhirnya mata itu tetap

melotot.

Seringkali, aku tidur di kamar Arta, di sebuah ranjang kecil di sebelahnya. Kami akan mengobrol

sebelum tidur, membahas fashion terakhir baju cewek. Misalnya, rok macam apa yang ngetren

di sekolah. Sepatu macam apa yang ketinggalan zaman. Atau haruskah besok mengenakan

gelang-gelang gemerincing di kantin? Atau kalung Suku Maori yang bikin geli itu?

Akan selalu ada hal yang kami bahas bersama. Kalau bosan, Arta akan bercerita tentang anak

cowok ganteng di sekolahnya. Tangannya bergerak ke sana kemari, seperti menari. Kalau

sudah antusias begitu, berarti anak cowok itu betulan ganteng. Sayang aku nggak satu sekolah

dengan Arta. Aku gagal masuk kualifikasi sekolah elit tersebut.

Selain cowok, kapan-kapan Arta akan membahas cerita misteri. Hantu-hantu semacam

kuntilanak, misalnya. Arta bilang, dia pernah melihat kuntilanak di pohon depan rumah kami.

Aku sih belum pernah melihat. Dan aku nggak mau melihat juga. Biasanya, aku akan mencoba

mengganti topik.

“Arta, kita bahas sepatu saja,” kataku suatu malam.

Arta menggeleng. “Kita kan lagi bahas kuntilanak. Ini penting!” sahutnya, dengan gaya anak

sebelas tahun yang bersemangat. Dia bicara soal kuntilanak seolah sedang membicarakan

cowok ganteng di sekolahnya itu.

Aku kan jadi sebal.

“Aku takut, Arta,” kataku.

“Jangan takut, Karina. Itu cuma cerita.”

“Kamu tahu, nggak? Boneka-boneka kamu itu setiap malam hidup, lho! Aku nggak mau bahas

hantu di sini. Di ruang tamu saja.”

Arta memutar bola mata. “Aduh, Karina. Udah aku bilang, boneka-boneka itu nggak hidup.

Semua boneka itu duduk di atas lemari dengan damai. Kadang-kadang kalau aku bangun

tengah malam, mereka masih di sana, kok. Nggak berkeliaran kayak di film-film.”

“Tapi aku tetep aja takut.”

Arta mendengus. Tangannya terlipat di depan dada. Arta sebal. “Udah, deh. Kamu diam aja.

Kita tetep bahas kuntilanak. Habisnya aku yakin, aku lihat ada cewek pake baju putih lagi duduk

di pohon.”

Aku tidak mau mendengar! Aku tidak mau mendengar!

Jadi, aku menutup telinga dan berpura-pura mendengar Arta membahas sepatu bot. Arta tetap

saja membahas kuntilanak, sementara aku mati-matian tidak menoleh ke arah boneka-

bonekanya Arta. Kenapa? Karena boneka-boneka itu juga duduk. Persis kuntilanak. Kaki

mereka menjuntai ke bawah lemari, persis kaki kuntilanak menjuntai dari dahan-dahan pohon.

Boneka-boneka itu juga hanya duduk diam saja, memperhatikan siapa pun yang lewat. Lagi-lagi

persis kuntilanak.

“Arta, aku nggak mau bobo di kamar kamu malam ini!” tegasku.

“Kenapa?” Arta tampak semakin bete. Mungkin sebenarnya dia bete karena aku nggak mau

membahas kuntilanak.

“Aku takut sama boneka kamu.”

“Ih! Aku sebel! Sebel!” Pipi Arta menggembung. Tandanya, dia sangat-sangat marah. “Aku

nggak mau main sama kamu lagi.”

“Habisnya kamu bahas kuntilanak melulu. Kan aku jadi kepikiran boneka-boneka itu.”

“Aku mau bobo!” putus Arta, mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Wajahnya

masih bete.

“Ya udah aku juga....”

“Tapi kamu nggak boleh bobo di situ!” seru Arta tiba-tiba.

“Lho, kenapa?”

“Karena kamu nyebelin malam ini!”

Arta lalu menarikku ke kumpulan boneka-boneka itu. Aku disimpannya di antara boneka bisque

dan boneka monyet. Sambil berkacak pinggang, Arta bilang untuk terakhir kali, “Kamu ini kan

cuma boneka Barbie! Jangan banyak request! Dasar kamu nyebelin!”

Jadinya, malam itu aku nggak tidur di ranjang mungil di samping tempat tidur Arta. Padahal di

sana ada lemariku, meja riasku, dan rumah mungil berwarna ungu muda dengan tulisan Barbie

Summer Holiday besar-besar.

Oh, kenapa aku sekarang terjebak di sini?!

“Halo. Selamat datang!” sapa sebuah suara di sebelahku. Itu boneka bisque yang mirip

Annabelle. Dalam kegelapan malam aku melihat kepalanya menoleh, dan matanya berkedip.

“Lihat, Kawan-Kawan! Kita kedatangan tamu dari seberang! Si Barbie sombong yang suka

mengata-ngatai kita kalau Arta nggak ada. Kudengar dia takut kuntilanak. Dia tahu nggak ya

kalau aku setiap malam berteman dengan kuntilanak?”

-Moemoe Rizal-
221015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 4th Meeting

Voted as 2nd favorite story of the night

Friday, October 16, 2015

Gelembung Sabun

Tidak, aku tidak akan turun ke halaman dan memutar sprinkler. Aku tidak akan membiarkan air melompat lalu aku berlari mengejar. Bukan soal air yang kusia-siakan. Bukan soal tampil kekanak-kanakan. Aku juga yakin tetangga tidak akan mengintipku.

Ini soal aku yang memang enggan.

Tujuanku ke sini minum kopi. Meracik bubuk-bubuk pahit dan mencampurnya dengan susu. Namun bukan untuk menikmatinya. Hanya untuk mengenang cerita yang pernah tercipta.

Dan hingga detik ini, aku belum meracik sesendok juga.

Tidak, aku tidak akan melompat ke ayunan dan menari di atasnya. Aku tidak akan membalik tubuhku hingga rambutku bersurai ke atas rumput. Bukan soal ayunan itu sudah tua. Bukan soal tubuhku yang terlalu banyak massa. Aku juga yakin pantatku masih muat di ayunan berderit itu.

Ini soal aku yang memang enggan.

"Main ini saja," sahut seseorang sambil meniup gelembung sabun.

Aku menoleh dan mengerutkan alis. "Aku bukan anak-anak lagi, Bu."

"Ah, nggak perlu jadi anak-anak untuk bermain gelembung sabun."

Aku sebenarnya enggan. Namun aku tidak ingin mengecewakan ibuku. Jadi, baiklah, untuk yang satu ini aku mau bermain. Akan kutinggalkan nostalgia kopiku demi mencipta balon-balon deterjen di udara.

"Gimana kabar kamu?" tanya Ibu, sambil meniup satu gelembung sebesar bola tenis.

"Kabar baik, Bu. Aku dapat pekerjaan baru sekarang," jawabku, meniup gelembung sebesar bola sepak. Ibu kalah. Haha. "Gimana kabar Ibu?"

"Kabar baik juga. Ibu sedang asyik main gelembung sabun akhir-akhir ini." Ibu meniup gelembung sebesar kepala manusia. Ibu masih kalah.

"Kenapa gelembung?" tanyaku lagi, meniup gelembung sebesar bola basket.

Ibu meniup untuk terakhir kalinya. Gelembung sebesar lampion halaman depan. "Karena main gelembung selalu mengingatkan Ibu pada kamu, Nak."

Aku tersenyum senang dan memutuskan untuk tak meracik kopi. Aku akan main gelembung sabun saja.
Ibuku meninggal lima tahun lalu. Kanker payudara. Hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Selamat ulang tahun Ibu.

151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting