Open.
Itu yang tertera di atas suratnya. Seolah kertas kado cantik itu belum cukup
mengundang siapa pun untuk membuka kotak yang terlindung di dalamnya. Aku membolak-
balik bingkisan mungil itu, mencari petunjuk. Sesuatu yang jelas sia-sia, karena pembungkus
kado di mana pun tak akan meninggalkan ruang untuk diintip.
Ketika aku kembali ke atas tempat tidur, menghempaskan tubuh dengan nyaman di atas
bantal-bantal, kubuka kado kecil itu. Kurobek saja, kubiarkan kertasnya berserakan di atas
lantai. Aku bukan Arvino yang akan membuka kadonya hati-hati, berencana menggunakannya
lagi suatu saat di masa depan. Jadi dalam lima detik, kutemukan kado itu bercangkangkan
kotak kardus kecil berwarna cokelat.
Mungkin isinya cincin lamaran. Mungkin isinya kunci mobil Mercedes Benz yang
kuidam-idamkan. Mungkin isinya gunting kuku. Apa pun dapat bersembunyi di balik kotak
sebesar 5 x 5 cm ini.
Namun begitu kubuka tutupnya, aku hanya menemukan secarik kertas yang digulung.
Warna kertasnya putih biasa, tampak disobek dari HVS 70 gram yang baru diambil dari
kawanan rimnya. Di dalamnya tidak ada surat cinta, maupun puisi-puisi romansa. Hanya satu
kata saja. Dengan tulisan ceker balado.
“Maaf.”
Aku menyunggingkan senyum sebelah dan memutuskan untuk melupakannya.
Esok paginya, aku mendapat kado yang lain. Kali ini bentuknya digital. Notifikasi
kehadirannya berkerlap-kerlip di ponselku, mencari perhatian. Aku menemukannya tepat ketika
aku terbangun dari tidur. Ada kiriman media Whatsapp yang di tengah gambarnya terpampang
segitiga mengarah ke kanan. Ini kiriman video. Dari Arvino. Pesan pengiring kiriman media itu
hanya satu kata: Open.
Jadi, aku mainkan videonya.
Ada Arvino. Di kamarnya yang mungil. Di bawah selimut putih gading bertotol-totol
cokelat, yang biasanya sering kuledek karena persis jerawat. Arvino duduk menyandar.
Kepalanya menunduk merasa bersalah, wajahnya tampak menyesal. Dia membiarkan lima
belas detik pertama tanpa apa pun. Dia menunduk. Menunduk. Melirik ke kamera, tetapi lalu
menurunkan pandang lagi karena merasa bersalah.
Detik keenam belas Arvino bicara. “Maaf,” katanya.
Lalu, ada lima detik lain yang sunyi. Arvino mulai menunjukkan wajah memelas seperti
anak anjing. Biasanya, aku luluh melihat ekspresinya yang seperti ini. Sekarang pun, aku luluh
lagi. Namun aku menolak menyerah. Aku akan tetap mengabaikannya.
“Maaf, Ayank. Maaf. Maafin aku,” katanya, pada detik kedua puluh tujuh dan seterusnya.
“Maafin aku.” Lalu bahunya berguncang dan dia benar-benar menyesal.
Video itu berakhir pada detik keempat puluh tiga.
Kuputuskan untuk kulupakan dan berlanjut mandi saja. Aku harus pergi kuliah pagi ini.
Aku tidak boleh terlambat.
Namun, aku tahu, aku dan Arvino tidak akan bertengkar lebih lama dibandingkan
microwave memanaskan makaroni panggang. Baru dua belas jam sejak terakhir kali kami
beradu argumen, dan jujur saja, ini rekor baru yang berhasil kami capai.
Biasanya, jika aku dan Arvino bertengkar, aku akan memohon-mohon kepadanya dalam
empat puluh menit. Kalau aku yang salah, aku yang meminta maaf. Kalau Arvino yang salah,
aku juga yang meminta maaf. Entahlah, kami sudah terlalu nyaman dengan sistem seperti itu.
Arvino nyaman diperlakukan bak Ratu Elizabeth, di mana siapa pun yang melakuan kesalahan,
semua meminta maaf kepada ratu. Dan aku, karena terlalu mencintai Arvino, rela meminta
maaf sekali pun itu bukan salahku.
Kali ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan kami, aku membiarkan diriku
tidak meminta maaf setelah lebih dari satu jam pertengkaran.
Sudahlah, lupakan.
Memasuki makan siang, aku sudah pulang ke kosan dan menenggelamkan diriku dalam
game online. Inginnya aku meminta maaf kepada Arvino dan mengembalikan romansa kami ke
manja-manjaan seperti biasa. Namun sekali lagi, tekadku sedang kuat. Aku ingin mengulur
waktu maafku.
Sekitar pukul dua siang, pintu kamarku diketuk. Aku menoleh dan bertanya, “Siapa?”
Yang mengetuk di luar tidak menjawab siapa namanya. Dia malah berkata, “Open.” Dan
aku tahu itu Arvino.
Karena aku bukan manusia yang kekanak-kanakan, kubiarkan Arvino masuk ke dalam
kamarku. Dia berwajah sama seperti dalam video. Menunduk. Memelas. Malu. Merasa
bersalah. Berharap aku mau memaafkan dia. Arvino duduk di atas ranjang, memilin-milin ujung
bajunya, dan sesekali melirikku, memintakuuntuk bicara duluan.
Namun aku tidak bicara duluan. Jadi, “Maaf,” katanya, memulai pembicaraan.
Aku membiarkan dua menit dalam kamar itu sunyi tanpa apa pun. Hanya diisi
kecanggungan dan pelasan minta maaf. Sampai akhirnya aku berkata, “Oke.”
“Maaf, Yank,” ungkap Arvino lagi.
“Iya. You don’t need to, actually. Aku udah maafin kamu satu detik setelah kita
berargumen.”
“Tapi kamu nggak ngebales apa pun pesan dari aku.”
Aku tertawa kecil. “Iya, kalau gitu aku yang minta maaf soal itu. Aku pengen Ayanknya
punya waktu aja buat merenungkan diri. Tapi aku udah maafin kamu sejak awal. Selalu maafin
kamu, atas apa pun yang kamu lakukan.”
Arvino mendekatiku. Memelukku. Dan bermanja-manja meminta maaf.
“Maaf,” bisik Arvino sekali lagi.
“Iya, sayang.” Kukecup pipinya. “But please, next time, appreciate yourself.”
“Iyaaa...,” dengungnya. “Iya, maaf.”
“You are beautiful in my eyes. So please, jangan benci sesuatu yang sebenarnya aku
cintai. Oke?”
Jadi begini, semalam kami bertengkar gara-gara aku menggodanya. Kubilang, “lebar”
pada salah satu foto terbarunya di Instagram. Dan Arvino marah. Dia tersinggung karena aku
secara tidak langsung mengatainya gendut. Yah, secara teknis memang begitu. Namun aku
kan hanya menggodanya. Kemudian Arvino marah, beradu argumen denganku, dan
menyatakan opininya secara jelas supaya aku tidak mencandainya untuk sesuatu yang
menyerempet insekuritasnya.
Kemudian, aku mulai balas memarahi. Karena aku tidak suka ketika dia membenci
bentuk tubuhnya. Sudah kukatakan berkali-kali kepadanya, bahwa aku mencintainya atas
bentuk tubuhnya itu juga. Apa pun itu bentuknya.
“Tapi society hates this kind of body,” kata dia membela.
“Well that’s society. And I’m not society. Who do you listen to, Vino? Is it me, someone
who is obviously in love with you? Or is it society, who expect you to be what they thought is
perfect?”
Arvino menunduk.
“What I though is perfect, adalah ketika kamu menerima diri kamu sendiri. Ketika kamu
membuka ruang kecil insekuritas dalam hati kamu itu, lalu mulai kamu isi dengan pemahaman
bahwa, di sini, aku kekasihmu, melihatmu sebagai seseorang, bukan sebagai sesosok jasad
bernyawa.”
Arvino memelukku lebih erat. Sangat-sangat menyesal. “Maaf,” katanya terakhir kali.
Aku tersenyum dan memberikan argumen terakhir. “Aku akan selalu maafkan sebelum
kamu minta maaf. So, Ayank, please open yourself to a healthier mind. You are healthy. And
you are beautiful.” Kukecup bibirnya. “Open.”
-Moemoe Rizal-
191115
Jakarta