Wednesday, November 25, 2015

Risa

"Risa!"

Aku membereskan tumpukan kertas di mejaku. Beberapa naskah permukaannya sudah jadi sarang debu. Bahkan ada yang belum kusentuh selama beberapa minggu, padahal ...

"RISA!"

"Ya!" Buru-buru aku melangkah ke ruangan manajerku. Melihat wajahnya sekilas saja aku sudah tahu kalau ada yang tidak beres. Dahinya berkerut, alisnya bertemu. Tangannya menggenggam dummy buku cerita bergambar tokoh dunia yang kuletakkan di mejanya tadi pagi. Helen Keller adalah tokoh ...

"Kenapa ilustrasinya begini?" tanya Pak Heru dengan nada meninggi. Kini dummy itu dia sodorkan kepadaku, terbuka pada bagian di mana seluruh halamannya hitam. Tidak ada gambar. Sekilas seperti tidak ada tulisan. Setelah aku dummy berpindah ke tanganku, Pak Heru membuang mukanya.

"Ee, Pak ...." Aku tergagap, menghadap punggung Pak Heru. "Helen Keller kan buta dan tuli. Ilustrasi ini menggambarkan sebuah dunia dari sudut pandang ...."

"Pemborosan," potong Pak Heru tidak sabar. "Kok kamu nggak tanya saya sih?"

"Menurut saya ...."

Bukan pemborosan karena pada halaman itu sesungguhnya ada narasi tulisan, tapi dalam huruf-huruf timbul. Anak-anak bisa membaca dengan merabanya.

Rangkaian kata itulah yang ingin kuucapkan. Namun, lidahku berhenti bergerak setelah kata 'saya'.

Pak Heru lantas menarik napas panjang. Dia menggelengkan kepalanya, seperti memaklumi anak usia lima tahun yang masih juga membasahi kasurnya. "Sekarang kamu revisi narasi dan ilustrasinya. Pakai ilustrator yang bisa kerja ngebut. Ingat buku ini mesti masuk percetakan dalam waktu dua hari," katanya.

Ketika beranjak keluar, aku mendengar Pak Heru menggumam, "Saya heran, kamu sudah lama kerja di sini, tapi masih belum juga mengerti soal-soal seperti ini." Kata-kata itu serasa menusuk punggungku.

Saat kembali menghadapi meja, perasaanku bercampur aduk. Aku benci Pak Heru. Dia seolah tidak mau tahu. Dia sering bilang seharusnya aku lebih inisiatif, tapi inilah yang terjadi ketika apa yang kukerjakan tidak sesuai keinginannya.

Dulu ketika pertama bekerja di sini, aku senang karena mendapat sebuah meja kerja yang luas. Kupikir ada banyak hal yang bisa kukerjakan di atasnya. Namun pada akhirnya setiap permukaan kosong malah jadi tempat menumpuknya pekerjaan yang tertunda.


Dan aku khawatir, setiap kata pembelaan, setiap ungkapan sakit hati yang selalu kutelan, semua menumpuknya di punggung. Karena saat ini, punggungku sakit sekali.

-Andika Budiman-
121115
Cafe Halaman

CS Bandung Writers' Club 7th Meeting

No comments:

Post a Comment