Tuesday, November 3, 2015

Boneka

Saya pernah menjadi anak laki-laki yang suka main boneka.

Saya membuatnya dari setumpuk kaus kaki yang sudah kehilangan pasangannya. Kaus kaki itu saya ikat simpul hidup. Simpulnya menjadi kepala. Bagian yang lebih panjang dijadikan badan, digulung dengan lap atau serbet, lalu diikat dengan pita yang sesuai. Bagian yang lebih pendek, dijadikan rambut. Saya bisa memotongnya pendek-pendek. menjadikannya sanggul dengan jarum pentul, atau saya beri jilbab. Kunjungan ke penjahit selalu disambut dengan gembira karena saya diizinkan mengambil kain  perca.

Semakin ganjil motif sebuah kain, semakin pula saya menyukainya, Sebuah kaus kaki wol berwarna merah tomat, berubah menjadi Farah si Rambut Merah yang Suka Marah-Marah. Tugasnya membangunkan semua orang yang tinggal di rumah boneka. Kanipa adalah kaus kaki putih kakak saya yang warnanya sudah abu-abu. Ia berkerudung biru, dan berbaju kotak-kotak. Suaranya selembut nenek-nenek, dan selalu bertanya, "Kenapa? Kenapa? Kenapa?"

Ayah tidak terkesan dengan rumah boneka dan segenap anggota keluarga yang mengisinya. Meskipun saya sudah memperkenalkan mereka berulang kali. Ayah hanya memandang saya dalam diam, dan tidak mengajukan pertanyaan, sekalipun Hulika terbuat dari kaus kaki oranye yang dijahit dengan benang metalik dan bermotif jaring laba-laba.

Suatu hari, entah dalam rangka apa, Ayah memberi saya satu set mainan kereta uap yang digerakkan dengan baterai. Ada lampu kecil yang menyala di lokomotifnya, dari cerobong keluar uap-uapan. Relnya panjang dan bisa disusun sesuka hati. Mungkin Ayah berharap kereta itu membawa saya pergi dari boneka-boneka saya. Namun, saya justru pergi bersama mereka, kami bertamasya ke gua purba yang terbuat dari beberapa kursi dan bedcover merah jambu.

Apa kabarnya boneka-boneka saya, ya? Kenapa saya lupa kapan saya berhenti main boneka? Saya ingat, Farah mati karena dia terlalu senang berganti gaya rambut. Saya terus mengguntingnya hingga tidak ada lagi yang bersisa. Namun ke mana perginya Kanipa? Boneka kesukaan saya karena sifatnya mirip saya yang sulit memahami sesuatu.

"Boneka itu kotor," jawab Ibu.

Saya memandang Ibu. Kami sedang menanti pesanan kami di rumah makan seafood ketika saya mulai mengoceh tiada henti tentang boneka.

"Ibu minta kamu mencucinya. Ingat?" ujar Ibu lagi.

Sekarang mulut saya ternganga. Saya ingat mengisi ember dengan air, sabun cair, shampo, dan conditioner, lalu para penduduk rumah boneka saya masukkan ke sana satu per satu untuk dimandikan. Saya melepas simpul dan pakaian mereka, menyikatnya, kemudian setelah bersih saya jemur, dan saya simpul dan pakaikan kembali bajunya.

Namun, penampilan mereka tidak seperti yang saya ingat.

Kanipa jadi berwarna putih. Dia tidak seperti Kanipa yang saya kenal, yang selalu saya ajak bicara sebelum tidur. Karena dia tiada henti-hentinya menanyakan, "Kenapa? Kenapa? Kenapa?" Di depan Kanipa, saya tidak pernah membosankan.

Ibu masih duduk di depan saya, tidak bergeming. Dan sepertinya, Ibu tidak akan menanyakan, "Kenapa?"

-Andika Budiman-
221015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 4th Meeting

No comments:

Post a Comment