Saturday, November 21, 2015

Boneka

Halo, namaku Karina. Aku teman baiknya Arta. Kami bahkan tinggal di rumah yang sama.

Dibandingkan gadis lain, kamar Arta tampak sepi. Wallpaper kamarnya merah muda, persis

bocah perempuan berumur sebelas tahun. Persis semua teman sebayanya. Namun Arta nggak

mengisinya dengan begitu banyak boneka. Aku tahu itu karena aku bisa menghitung apa saja

mainan yang ada di sana.

Ada Teddy Bear lusuh yang pernah jatuh ke selokan. Ada boneka monyet berkaki panjang yang

kaki kanannya robek. Ada pula boneka bisque dari Prancis yang sempat popular di rumah ini

ketika film Annabelle tayang di TV.

Aku nggak pernah suka boneka bisque itu. Karena memang mirip Annabelle. Rambutnya

keriting, gaunnya jadul, dan kulitnya ada bercak-bercak kekuningan. Kalau aku bermain boneka

bersama Arta, aku tidak akan meminjam boneka bisque itu.

Di luar boneka-boneka itu, ada banyak Hello Kitty dan figurin empuk dari Walt Disney.

Jumlahnya sedikit, sungguh. Paling ditambah boneka hadiah dari theme park atau dari paman

yang baru pulang dari Australia.

Mengapa aku membahas boneka? Karena aku yakin, setiap malam boneka-boneka itu hidup.

Aku belum pernah melihatnya, sih. Namun mereka seolah-olah hidup. Lihat saja mata boneka

monyet itu. Rasa-rasanya mata itu akan mengedip, meskipun pada akhirnya mata itu tetap

melotot.

Seringkali, aku tidur di kamar Arta, di sebuah ranjang kecil di sebelahnya. Kami akan mengobrol

sebelum tidur, membahas fashion terakhir baju cewek. Misalnya, rok macam apa yang ngetren

di sekolah. Sepatu macam apa yang ketinggalan zaman. Atau haruskah besok mengenakan

gelang-gelang gemerincing di kantin? Atau kalung Suku Maori yang bikin geli itu?

Akan selalu ada hal yang kami bahas bersama. Kalau bosan, Arta akan bercerita tentang anak

cowok ganteng di sekolahnya. Tangannya bergerak ke sana kemari, seperti menari. Kalau

sudah antusias begitu, berarti anak cowok itu betulan ganteng. Sayang aku nggak satu sekolah

dengan Arta. Aku gagal masuk kualifikasi sekolah elit tersebut.

Selain cowok, kapan-kapan Arta akan membahas cerita misteri. Hantu-hantu semacam

kuntilanak, misalnya. Arta bilang, dia pernah melihat kuntilanak di pohon depan rumah kami.

Aku sih belum pernah melihat. Dan aku nggak mau melihat juga. Biasanya, aku akan mencoba

mengganti topik.

“Arta, kita bahas sepatu saja,” kataku suatu malam.

Arta menggeleng. “Kita kan lagi bahas kuntilanak. Ini penting!” sahutnya, dengan gaya anak

sebelas tahun yang bersemangat. Dia bicara soal kuntilanak seolah sedang membicarakan

cowok ganteng di sekolahnya itu.

Aku kan jadi sebal.

“Aku takut, Arta,” kataku.

“Jangan takut, Karina. Itu cuma cerita.”

“Kamu tahu, nggak? Boneka-boneka kamu itu setiap malam hidup, lho! Aku nggak mau bahas

hantu di sini. Di ruang tamu saja.”

Arta memutar bola mata. “Aduh, Karina. Udah aku bilang, boneka-boneka itu nggak hidup.

Semua boneka itu duduk di atas lemari dengan damai. Kadang-kadang kalau aku bangun

tengah malam, mereka masih di sana, kok. Nggak berkeliaran kayak di film-film.”

“Tapi aku tetep aja takut.”

Arta mendengus. Tangannya terlipat di depan dada. Arta sebal. “Udah, deh. Kamu diam aja.

Kita tetep bahas kuntilanak. Habisnya aku yakin, aku lihat ada cewek pake baju putih lagi duduk

di pohon.”

Aku tidak mau mendengar! Aku tidak mau mendengar!

Jadi, aku menutup telinga dan berpura-pura mendengar Arta membahas sepatu bot. Arta tetap

saja membahas kuntilanak, sementara aku mati-matian tidak menoleh ke arah boneka-

bonekanya Arta. Kenapa? Karena boneka-boneka itu juga duduk. Persis kuntilanak. Kaki

mereka menjuntai ke bawah lemari, persis kaki kuntilanak menjuntai dari dahan-dahan pohon.

Boneka-boneka itu juga hanya duduk diam saja, memperhatikan siapa pun yang lewat. Lagi-lagi

persis kuntilanak.

“Arta, aku nggak mau bobo di kamar kamu malam ini!” tegasku.

“Kenapa?” Arta tampak semakin bete. Mungkin sebenarnya dia bete karena aku nggak mau

membahas kuntilanak.

“Aku takut sama boneka kamu.”

“Ih! Aku sebel! Sebel!” Pipi Arta menggembung. Tandanya, dia sangat-sangat marah. “Aku

nggak mau main sama kamu lagi.”

“Habisnya kamu bahas kuntilanak melulu. Kan aku jadi kepikiran boneka-boneka itu.”

“Aku mau bobo!” putus Arta, mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Wajahnya

masih bete.

“Ya udah aku juga....”

“Tapi kamu nggak boleh bobo di situ!” seru Arta tiba-tiba.

“Lho, kenapa?”

“Karena kamu nyebelin malam ini!”

Arta lalu menarikku ke kumpulan boneka-boneka itu. Aku disimpannya di antara boneka bisque

dan boneka monyet. Sambil berkacak pinggang, Arta bilang untuk terakhir kali, “Kamu ini kan

cuma boneka Barbie! Jangan banyak request! Dasar kamu nyebelin!”

Jadinya, malam itu aku nggak tidur di ranjang mungil di samping tempat tidur Arta. Padahal di

sana ada lemariku, meja riasku, dan rumah mungil berwarna ungu muda dengan tulisan Barbie

Summer Holiday besar-besar.

Oh, kenapa aku sekarang terjebak di sini?!

“Halo. Selamat datang!” sapa sebuah suara di sebelahku. Itu boneka bisque yang mirip

Annabelle. Dalam kegelapan malam aku melihat kepalanya menoleh, dan matanya berkedip.

“Lihat, Kawan-Kawan! Kita kedatangan tamu dari seberang! Si Barbie sombong yang suka

mengata-ngatai kita kalau Arta nggak ada. Kudengar dia takut kuntilanak. Dia tahu nggak ya

kalau aku setiap malam berteman dengan kuntilanak?”

-Moemoe Rizal-
221015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 4th Meeting

Voted as 2nd favorite story of the night

No comments:

Post a Comment