Wednesday, November 25, 2015

Looking at Your Back

There you are again, in the same seat every week, as I sit in the corner of this pub. Each time I've seen you, you sit alone. Each week has gone by without a chance to see your face. What I could see was your back, broad shoulders and big biceps surrounded by the cuffs of your short-sleeve shirt. You made me curious, but I didn't have the guts to get up and go to your table, to ask your name, or to buy you a drink. However, you have succeeded in making me come here every week. Just to see your back. 

One night, I brought my date here. It was a good night. Nonetheless, I kept glancing at your back and of course he finally realised why I'd brought him to this pub, and left right away. 

My best friend told me that I should make the first move. Open your heart and have courage. Take a chance. But I never listened to his advice. 

Tonight I finally hear my conscience telling me to get my ass up and go over to your table. As I'm walking towards you, I lose control of my body. Just a few more steps to your table, I turn and go back to my corner. Sometime later I realise what happened. I'm too afraid to see your face. What if you're nothing like I've imagined? What if my perfect image is shattered by the reality of you? Call me shallow, but I think it's enough for me to see you from behind. Your perfectly broad shouldered back, which I can only look at and admire. Just like this. Me and your back.

-Mikael Setiawan-
121115
Cafe Halaman

CS Bandung Writers' Club 7th Meeting 

Risa

"Risa!"

Aku membereskan tumpukan kertas di mejaku. Beberapa naskah permukaannya sudah jadi sarang debu. Bahkan ada yang belum kusentuh selama beberapa minggu, padahal ...

"RISA!"

"Ya!" Buru-buru aku melangkah ke ruangan manajerku. Melihat wajahnya sekilas saja aku sudah tahu kalau ada yang tidak beres. Dahinya berkerut, alisnya bertemu. Tangannya menggenggam dummy buku cerita bergambar tokoh dunia yang kuletakkan di mejanya tadi pagi. Helen Keller adalah tokoh ...

"Kenapa ilustrasinya begini?" tanya Pak Heru dengan nada meninggi. Kini dummy itu dia sodorkan kepadaku, terbuka pada bagian di mana seluruh halamannya hitam. Tidak ada gambar. Sekilas seperti tidak ada tulisan. Setelah aku dummy berpindah ke tanganku, Pak Heru membuang mukanya.

"Ee, Pak ...." Aku tergagap, menghadap punggung Pak Heru. "Helen Keller kan buta dan tuli. Ilustrasi ini menggambarkan sebuah dunia dari sudut pandang ...."

"Pemborosan," potong Pak Heru tidak sabar. "Kok kamu nggak tanya saya sih?"

"Menurut saya ...."

Bukan pemborosan karena pada halaman itu sesungguhnya ada narasi tulisan, tapi dalam huruf-huruf timbul. Anak-anak bisa membaca dengan merabanya.

Rangkaian kata itulah yang ingin kuucapkan. Namun, lidahku berhenti bergerak setelah kata 'saya'.

Pak Heru lantas menarik napas panjang. Dia menggelengkan kepalanya, seperti memaklumi anak usia lima tahun yang masih juga membasahi kasurnya. "Sekarang kamu revisi narasi dan ilustrasinya. Pakai ilustrator yang bisa kerja ngebut. Ingat buku ini mesti masuk percetakan dalam waktu dua hari," katanya.

Ketika beranjak keluar, aku mendengar Pak Heru menggumam, "Saya heran, kamu sudah lama kerja di sini, tapi masih belum juga mengerti soal-soal seperti ini." Kata-kata itu serasa menusuk punggungku.

Saat kembali menghadapi meja, perasaanku bercampur aduk. Aku benci Pak Heru. Dia seolah tidak mau tahu. Dia sering bilang seharusnya aku lebih inisiatif, tapi inilah yang terjadi ketika apa yang kukerjakan tidak sesuai keinginannya.

Dulu ketika pertama bekerja di sini, aku senang karena mendapat sebuah meja kerja yang luas. Kupikir ada banyak hal yang bisa kukerjakan di atasnya. Namun pada akhirnya setiap permukaan kosong malah jadi tempat menumpuknya pekerjaan yang tertunda.


Dan aku khawatir, setiap kata pembelaan, setiap ungkapan sakit hati yang selalu kutelan, semua menumpuknya di punggung. Karena saat ini, punggungku sakit sekali.

-Andika Budiman-
121115
Cafe Halaman

CS Bandung Writers' Club 7th Meeting

Punggung

“Oi. Apa tantangan hari ini?”

“You decide.”

“Yakin, nih?”

Dia ngangguk.

Sambil ngangkat dagu, belagak mau ngasih tantangan maut, gue mulai muter otak. Jelas, tantangannya mesti bisa gue menangin, tapi doi masih bisa bersaing kompetitif. Biar adil dong, Bro. Biar nggak berat sebelah. Gue Cuma butuh waktu sepuluh detik buat meletusin ide, “Nyelamatin anak kucing sebanyak-banyaknya!”

Dia tercengang kaget. Sambil ketawa. “What? What kind of challenge is that?”

“Yaaa… challenge is kind is that,” jawab gue, sengaja harus ngaco bahasa Inggrisnya, biar anti-mainstream.

“How does it work?” Dia mulai ngangkat satu alis. Biasanya gue suka kesengsem kalo mukanya mulai sok-sok nantang kayak begitu. Seksi aja Bro ngelihatnya.

“Yang menang challenge, yang paling banyak nyelamatin anak kucing hari ini.”

“How do we know that we really help a cat?”

“Yaaa… by photo-photo, selfie-selfie, before after and so on and so on.”

Dia ketawa geli ngedenger gue. “So, before we really help these kittens, we have to make sure that we take a picture of them, then help, then take a picture again?”

“Iya. So, so lah, pokoknya. Like that, like that.”

Dia geleng-geleng kepala, masih sambil ketawa geli. “Okay. Challenge accepted.”

Jadi gini, Bro. Gue, ama si dia ini nih, setiap hari punya satu tantangan yang mesti diselesain sebelum jam tujuh malem. Iseng-iseng aja. Kayak anak alay, kagak ada kerjaan. Tapi lumayan, silaturahmi gue makin terasah ama ni orang, jadi niat gue buat pedekate juga lancar jaya 86. Kadang tantangannya tuh siapa yang paling banyak makan daun singkong di nasi padang, siapa yang paling cepet nyampe ke kampus, siapa yang paling murah naik angkot, atau kemaren tantangannya siapa yang paling banyak dapetin kacang ijo pake duit lima ribu perak.

Setelah tantangan selesai, pemenangnya boleh ngelakuin apa pun ke si yang kalah. Sejauh ini doi yang paling sering menang. Atau dalam kamus gue, guenya yang banyak ngalah. Hihi. Biar dia makin sayang aja ama gue, Bro. Biasanya, permintaan dia suka aneh-aneh kalo gue yang kalah. Suruh bersihin ban mobil tetangga, lah. Suruh ngembaliin buah mangga ke pohonnya, lah. Suruh jagain lilin di tukang sate madura, lah—padahal nggak ada yang berubah jadi babi, tapi tetep aja gue suruh jagain. Tiga hari yang lalu pas gue kalah, gue disuruh kenalan ama kuntilanak, terus foto bareng.

“So, what’s the prize for today?” tanya dia.

“Kamu dulu,” kata gue.

“Okay. If I win this challenge, I want you to clean my closet. I’ve been dying to look for a spare time in arranging all those messy stuff. Argh.”

“Siaaappp!” jawab gue.

“How about you?”

“Gue? Gue pengen peluk lo.”

“Hug me? Why?”

Gue ngangkat bahu. “Pengen aja. Entar gue kasih tahu alasannya.”

Lalu, berpisahlah gue ama dia. Dia pergi ke kampus, gue pergi ke studio musik gue. Kagak ada jadwal latihan atau apa sih. Jadwal gue hari ini ya menangin challenge yang gue buat sendiri. Jadi, gue datang ke gang-gang, gue set biar kucing-kucing yang gue temuin berada dalam bahaya. Udah gitu gue foto, gue selamatin, gue foto lagi. Kan lumayan. Selain bikin ini kucing bisa latihan jadi fotomodel, gue juga belajar fotografi.

Kucing pertama yang gue temuin warnanya oranye-putih, agak kurus dan matanya ijo. Tapi pas gue samperin, dianya kabur. Sampe ngelompat ke halaman rumah orang. Gue kejer dia sepanjang lima gang di RT sebelah, kagak berhasil juga. Pantesan suka ada istilah kucing garong, ya. Abisnya mereka kalo kabur ahli banget. Padahal nggak akan gue rampok atau perkosa juga. Nggak ngerti gue ini kucing barusan kenapa somse amat.

Kucing kedua punyanya Adis, namanya Poxi. Karena gue udah tanggung nyasar ke gang RT sebelah, ya udah gue mampir di sana sebentar. Gue fotoin kucing itu kayak yang mau jatuh dari jemuran kosannya Adis, lalu gue tolongin, dan gue foto lagi pas kucingnya udah selamet. Dibantuin Adis malah. Sampe 35 take gambar, padahal yang diambil Cuma satu.

Lama-lama ini jadi kayak yang nggak meyakinkan. Abisnya si Poxi kagak pernah main ke atas jemuran. Kok kayaknya idiot aja dia mendadak berubah kepribadian dan muncul di atas sana sampe-sampe gue mesti nolongin segala.

Tapi gue move on, Bro. Gue cari kucing lain.

Kucing ketiga kucing liar lagi. Yang lebih ramah-tamah, tenggang rasa, rajin menabung, dan apa pun yang jadi judul buku paket PPKn. Gue kondisiin dia ada di atas pohon jambu deket rumahnya Kades. Gue fotoin. Lalu, gue turunin lagi, dan gue fotoin lagi karena gue berhasil bawa doi ke atas tanah. Fotonya sih meyakinkan. Apalagi gambarnya agak-agak blur, jadi kesannya kayak yang bener-bener darurat gitu.

Cuman bahlulnya, begitu selesai photoshoot, ini kucing langsung lompat naik ke atas pohon jambu, dan bobo di sana. Sial. Kata Pak Kades, emang di situ rumahnya.

Udahlah, ya. Si dia nggak perlu tahu kalo kucingnya nggak pernah perlu diselamatin dari atas pohon.

Kucing berikutnya? Banyak, Bro. Sampe jam tujuh malem gue udah syuting ama sepuluh kucing. Nyaris di banyak gang dan kampung-kampung. Ada yang ceritanya kejebak di gorong-gorong, ada yang nyaris digoreng sama tukang bala-bala, ada yang nyaris ditendang sama tukang nasi padang, ada yang lagi dikejar anjing chihuahua, ada yang nyangkut di jendela, sampe ada yang lagi nyeberang gue potoin aja… padahal tuh kucing udah cukup dewasa dan berhati-hati dalam menyeberang. Cuma tetep aja pas di seberang gue ajak foto bareng. Ceritanya, gue yang bantu dia nyeberang.

Jam tujuh malem, gue ketemu lagi ma dia. Lokasinya di atap rumah gue. Gue ajak ke sana. Buat lihat bintang-bintang. Biar romantis. Biar kayak pujangga.

“How was your day?” tanyanya.

“Penuh kebaikan,” jawab gue, berusaha terdengar bijak. “So your day how was?”

Dia ketawa. Selalu ketawa ngedenger bahasa Inggris gue. “It was fun. But I didn’t get many pictures of me helping cats in emergency.”

“Coba mana fotonya?”

Dia ngasih tunjuk tiga foto doang. Fotonya sih believable, kayak bener-bener emang butuh bantuan tuh kucing. Ada yang kejepit di pagar. Ada yang masuk ke sumur. Dan ada yang lagi nyari anak-anaknya. Gue sampai nangis Bro lihatnya.

“Your turn,” kata dia.

Ya udah, gue tunjukin semua foto yang gue dapet. Dia ketawa. Jumlahnya sih banyak. Dan kayaknya dia ngeh juga kalo gue malsuin nyaris semuanya kayak anggota DPR cuci uang hasil korupsi mereka.
“Looks like you win, tonight. Congratulations.”

Gue lemparin cengiran lebar.

Dia lalu ngerentangin tangannya, membiarkan tubuh dia buat gue peluk. “So, come here. Hug me.”

Dengan senyum yang lebih romantis, gue berjalan muterin dia. Berjalan ke belakang dia. Lalu gue peluk dia dari belakang.

Dia heran. “You want to hug me from the back?”

“Yoyoy.”

“Why?”

“Gue pengen nyentuhin badan gue sama punggung lo.”

Dia ketawa. “And why is that?”

Giliran gue yang ketawa. “Meluk dari belakang gini tuh, ngerangkul badan lo dari punggung, ngebikin gue bisa ngelindungin lo lebih erat. Lebih waspada. Dan lebih aman.”

“That’s not even related.”

“Related, kok,” sanggah gue. “Lo lihat tangan gue sekarang? Tangan kan organ yang paling lincah dalam melindungi diri. Karena gue meluk dari punggung, tangan gue bisa terjulur ke depan, posisinya lebih deket sama hati lo. Lebih aman buat ngelindungin lo.”


Dia nggak ketawa. Tapi senyumnya yang tulus bisa gue rasain dari pipi kami yang akhirnya bertemu. Lalu, sambil berbisik, dia berkata, “You know what. I love today’s challenge. And I’m glad that you won the game.”

-Moemoe Rizal-
121115
Cafe Halaman

CS Bandung Writers' Club 7th Meeting

Voted as Favorite Story of The Night

Punggung

Jika ada yang diberi pertanyaan, "Apa yang paling kau ingat tentang mantan kekasih terakhirmu?" mungkin mereka akan menjawab, "Hangatnya," "Senyumnya," "Wanginya," "Matanya," "Hidungnya," atau bahkan, "Ciumannya."

Dan aku akan menjawab, "Punggungnya."


Ah, mana bisa kulupakan kau dan punggungmu itu. Punggung yang sama sekali tidak kokoh sebenarnya, karena kau termasuk sangat kurus untuk ukuran pria seumuranmu. Tapi punggungmu itu, ya, yang kurus ceking itu, adalah punggung yang selama ini menentramkanku. Punggungmu itu selalu menyembunyikanku dari dinginnya angin malam kota Bandung sehabis hujan. Kau tentu ingat betapa erat pelukanku di atas motor tuamu. Dan punggungmu selalu bisa kujadikan sandaran dan penampung air mata. Sudah kubilang aku berjanji tidak pernah menangis di depanmu kan? Aku menepatinya. Aku sering menangis diam-diam di belakangmu. Aku tau bahwa kau tau itu. Tapi aku tak peduli selama kau tetap pura-pura tak peduli.


Sampai kini aku masih bertanya pada semesta, mengapa harus punggung kurus ceking favoritku itu menjadi hal yang terakhir yang kulihat darimu di lorong samping laboratorium setelah kau berkata lirih, "Kita sampai di sini saja ya Dik, aku mau kembali pada tunanganku di Surabaya."

-Rahadini Windia-
121115
Malang

CS Bandung Writers' Club 7th Meeting

Our Plushies

Let's go back to the first time we met. It was the eye contact, although we quickly turned our heads away, that I remember. I still remember how you bashfully tried to look at me when I didn't look at you. I didn't even get your name . We always went to that coffee shop on the same day of the week, at the same time, and we sat opposite each other. I guess we both enjoyed our non-conversational meetings. I usually arrived first and would anxiously wait for you. But one day when I was running late, I finally got your name. The barista called your order while I was waiting in line. That same day I finally had enough courage to go up to your table and ask you for a date.


Our first date was bizarre and disastrous. We missed our reservation at the restaurant, so we decided to eat at a diner instead. How weird was it when the waitress accidentally knocked over your drink and soaked your shirt? You went to the toilet but all the hand dryers were broken. So you sat back down and continued eating with your wet shirt. We cancelled going to the cinema because I didn't want you to get sick. We couldn't find a taxi so we had to walk home. None of that put us off. At least our later dates went well.


Our first-month anniversary brought us a new tradition. You gave me a teddy bear. Soon our history was filled with stuffed animals. A panda for Valentine’s day. A reindeer for Christmas. A dog for our one-year-anniversary. A giraffe for your birthday. A penguin when we decided to move in together. A lion for my birthday. An orca whale for your promotion at the office. And an elephant when I asked you to marry me.


So now here, in front of God, people that we love and love us, and all our stuffed animals, I promise to bring you joy, I promise to be there for you to cuddle, I promise to lend you my shoulder to cry on, just like our plushie. So, I, John take you, Paul as my lawful husband, for better or worse, in sickness and health, till death do us part.  

-Mikael Setiawan-
221015
Cabe Garam

CS Bandung Writers' Club 4th Meeting

Voted as Favorite Story of The Night

Surat Kepada Kawan

Kawan,
Terima kasih untuk semua waktu yang kau sisihkan untukku.
Terima kasih untuk segala doa yang kau panjatkan atas namaku
Terima kasih untuk seluruh usaha yang kau perjuangkan untuk pertemanan kita

Kau yang ada ketika aku berada di langit ke tujuh saat ku jatuh cinta padanya
Kau yang ada di kala aku berhasil memenangkan hatinya
Kau yang ada sesaat aku ditinggalkannya

Aku masih ingat semua impian kita
Aku masih ingat semua resolusi kita
Aku masih ingat semua janji kita

Semua yang kita lafalkan keras-keras sembari menautkan jari-jari kelingking kita agar kita berusaha keras mencapai apa yang kita dambakan

Sebuah ritual yang menjadi tradisi kita setiap tanggal satu Januari

Ritual yang kita jadikan batu pijakan selama setahun berikutnya

Tahun di mana semuanya berubah

Kawan,
Maafkan aku untuk semua keacuhanku akan perasaanmu
Maafkan aku untuk segala cara yang kulakukan untuk mendapatkannya
Maafkan aku untuk seluruh niatku menggunakanmu demi kepentingan diri sendiri

Aku yang tahu bahwa kau menyukaiku tapi tak kuhiraukan
Aku yang tahu bahwa kau akan melakukan apapun untukku
Aku yang tahu bahwa kau terluka setiap saat kau melihatku dengannya

Kau selalu menyediakan bahumu untuk isak tangisku
Kau selalu meloncat kegirangan bersamaku saat aku bahagia
Kau selalu tersenyum walaupun dalam hati kau menjerit

Semua berubah saat kau memutuskan untuk bergabung dengan korps relawan di Timur Tengah

Tempat dimana terjadinya kejadian itu.

Kejadian yang menyebabkan kau pulang lebih cepat dari yang kau rencanakan.


Walaupun kita tetap bertemu di tanggal satu Januari, tak mungkin aku menautkan jari kelingkingku padamu. Bukan karena kau lelah menungguku, tapi karena kecelakaan itu membuatmu kehilangan jari kelingkingmu.

-Mikael Setiawan-
051115
Giggle Box

CS Bandung Writers' Club 6th Meeting

Red Eyes

Thursday

9.30 am


My eyes are red, itchy and glassy. I wish I could scratch them, but the possibility of losing my sight prevents me from doing so. God, what happened? It was supposed to be a good day, but it starts with a twitch of/in my eyes. Old people say it means someone misses you. But you know me. I'm very skeptical about superstitions. I try to ignore it but the burning sensation forces me to give up. Finally, I scratch them.


12.15 pm


The pain has shifted to my throat now. The phlegm resides there and refuses to leave its comfort zone. It doesn’t matter how many times I've tried, the mucus lingers in my throat. Sometimes I can feel it reach my mouth, if I cough hard enough, but then it goes straight back to the larynx. I feel uncomfortable as the people around me start to get annoyed with my continuous and disturbing bark.


15.45 pm


It's been more than six hours since the symptoms started. I don’t show any signs of getting better. Now it’s/I’m even worse, I can’t breathe. The bronchioles in my lungs seem to be shutting down the path of the air through my lungs. My chest is constricted. I'm
wheezing like I'm having an asthma attack. My brain keeps wondering why all of this is happening today. A sudden flashback reminds me realise it all started this morning, when I got your message saying you wanted to break up.  

-Mikael Setiawan-
081015
Coffindo

CS Bandung Writers' Club 2nd Meeting

Kelingking

Di sebuah negeri dua dimensi, hiduplah raja yang tegas dan bijaksana. Rakyat memanggilnya "Keling King". Mengapa? Karena ia raja yang hitam. Keling. King.

Tanpa Kelingking, warna sering leleh merambah bidang yang bukan bagiannya. Bentuk sulit dipahami. Dan bidang putih tak tahu harus menjadi apa. Keling King selalu menjadi batas yang memperjelas setiap bentuk dan bidang. Seperti pada suatu hari, sepotong limas berwarna kuning datang menghadap Keling King.

"Keling King, semua makhluk bilang hamba adalah segitiga. Padahal hamba ini limas. Apa yang harus hamba lakukan agar orang-orang percaya?" tanya Limas agak putus asa. "Sangat sulit membuktikan identitas hamba. Masalahnya, limas adalah bangun tiga dimensi. Padahal kita hidup di negeri dua dimensi..." lanjut Limas.

Keling King mengangguk-angguk arif. Tanpa banyak bicara, ia menerapkan kebijaksanaan garis kelingnya. Sekejap rakyat yang sangat dikasihinya itu menjelma menjadi makhluk dua dimensi yang tiga dimensi. Seperti ini:

(gambar segititga biasa)

menjadi

(gambar segitiga yang udah dikasih garis-garis supaya keliatan jadi limas)

Limas pulang dengan sukaria. Kali itu, ia jadi dapat membuktikan bahwa ia adalah limas, bukan segitiga.

Pada bidang-bidang putih yang kosong, Keling King juga sering hadir menorehkan huruf-huruf atau mencipta bentuk-bentuk sederhana. Bidang putih selalu senang karena dengan begitu, mereka jadi mempunyai isi dan arti.

(gambar stick man pake payung, ada awan dan ujannya)

Tapi adakalanya pula Keling King dibantah. Warna kadang-kadang enggan dipagari. Mereka melanggar batas Keling King, atau kadang memang sengaja ingin berbaur dengan warna lainnya. Kadang warna pun tahu cara menciptakan tiga dimensi dalam dua dimensi, tapi garis yang ditarik Keling King. Rakyat yang mencintai Keling King mencoba memperingatkan agar Keling King berhati-hati. Tetapi dengan penuh kesadaran, Keling King membiarkannya.

"Bagiku, kesejahteraan bentuk di atas segalanya. Aku tidak perlu menghukum warna jika dalam pemberontakan mereka, mereka tetap menjaga bentuk ..."

Kadang diam-diam Keling King menyusup di sela warna. Bukan sebagai batas yang tegas, tapi sebagai bayang. Sebagai kesan. Ia tidak memerangi pemberontakan, tetapi mencari tempat di antaranya. Jari kelingking adalah lambang perdamaian. Itu sebabnya, Keling King pun senantiasa menjaga kedamaian.

Di dunia bentuk, Keling King memimpin dengan kearifan yang istimewa. Kuasa dan kebijaksanaan berdamping sama tingginya ...

-sundea-
051115
Giggle Box

CS Bandung Writers' Club 6th Meeting

Voted as Favorite Story of The Night

Saturday, November 21, 2015

Janji Kelingking

Dari kelima, eh salah, kesepuluh jari tanganku aku paling benci jari kelingking. Jari paling kecil tetapi paling mengintimidasiku. Seandainya ada phobia terhadap jari kelingking, mungkin aku sudah mengidapnya. Pinky phobia, begitu aku menamai seenaknya.

“hahaha…hahaha…haha” suara kawan-kawanku menggema, mereka sedang menertawakanku. Ingin aku tutup telingaku, agar suara menyakitkan ini tidak perlu kudengar. Ini bukan pertama kalinya mereka mengejekku, mengejek kelingkingku.

“masa anak cowo kelingkingnya ngetrill” ejek Adi
“kaya anak cewe aja” sahut Eko
“banci..ih..banci” Budi menimpali

Aku hanya bisa diam, tanganku mengepal menahan amarah. Aku marah dan benci pada jari kelingkingku. Seandainya aku bisa menahan jari kelingkingku jangan sampai jari paling ujung ini naik saat aku mengangkat barang, pasti sudah aku lakukan dari dulu. Ingin sekali kelingkingku ini bisa aku lem bersama dengan jari manis.

Pandanganku mulai kabur, air mata sepertinya mulai menggenang di mataku.
“iih..cengeng..anak cowo cengeng” mereka tambah mengejekku.
“banci ga punya ibu…hahaha"

telingaku berdenging mendengar ejekan itu. Ejekan mereka sudah kelewat batas, terlalu menyakitkan. Aku bukanlah anak yang gampang emosi, tetapi kali ini aku tidak bisa menahan diri. Kuayunkan kepalan tanganku, bukan maksudku untuk memukul mereka, hanya berusaha untuk menghalau. Namun ternyata kepalan tanganku mengenai muka Adi. Kacamata yang ia kenakan pecah dan kacanya mengores mukanya dan tanganku. Darah mengalir dari mukanya dan tanganku. Tangis adi pecah, sedangkan aku hanya bisa gemetar.

Eko dan Budi berlari memanggil-manggil ibu guru. Bu guru lalu mengobati luka kami. Jika adi menangis meraung-raung, aku tidak menangis sama sekali. Bukan karena aku sok kuat, tetapi karena aku takut, takut sekali. 

Apa yang aku takutkan terjadi, bu guru memanggil ayahku. Dibatasi meja bu guru duduk di kursi, di depanku dan ayah.
“Pak, anak bapak tidak sepenuhnya salah ketika memukul temannya, ada andil dari anak-anak itu juga. Mereka memprovokasi Andi dengan mengejek"
“Namun saya memanggil anda juga untuk membantu agar Andi lebih bisa berbaur dengan anak-anak lainnya”
“Kenapa dengan anak saya bu?” tanya ayah
“hmm..bagaimana ya menjelaskannya. Begini pak, menurut saya Andi terlalu pendiam sehingga terlihat feminin akibatnya beberapa anak sering menggangunya. Saya harap dia berubah agar dapat berbaur dengan anak lelaki yang lain” jawab bu guru.
Ayah diam sementara aku hanya bisa menunduk. Bu guru kemudian bersiap melanjutkan cerita, namun ayah langsung memotong.
“Tidak perlu dilanjutkan bu, saya sudah mengerti” tukasnya.

Dalam perjalanan pulang, pikiranku berkecamuk. Aku benci kelingkingku. Mengapa hanya karena itu mereka bilang aku banci, memang apa salahnya aku pendiam, apa salahnya kelingkingku ngetrill.

Setelah sampai di rumah, ayah mengajakku ngobrol berdua. 
“Ayah, maafkan Andi” ucapku membuka pembicaraan.
“Andi akan berubah, menjadi anak yang kuat dan tidak seperti banci, menjadi anak yang tidak akan membuat malu ayah lagi” leherku terasa tercekat.
Ayah menatapku tajam, aku siap merima luapan amarahnya.
“Andi, kamu anak yang baik. Kamu samasekali tidak membuat ayah malu. Kamu bukan banci, merekalah yang banci, karena meraka yang beramai-ramai mengejekmu” jawabnya lembut.
“Ayah, aku benci kelingkingku” ucapku dengan mata berkaca-kaca.

Ayah meraih kelingkingku lalu mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingkingku.
“Andi, jangan kamu membenci kelingkingmu, karena ini adalah jari yang paling istimewa, ini adalah jari yang mengikat janji kita berdua”
“Andi, berjanjilah pada ayah kalau kamu akan selalu mencintai dirimu sendiri, berjanjilah untuk mencintai kelingkingmu"
“Janji..yah” sahutku parau dan airmataku pun mengalir hangat.


Ada kalanya hal yang paling kita benci menjadi hal yang paling kita sayangi dan mungkin begitu pun sebaliknya. Tapi biarlah itu menjadi ceritaku selanjutnya.



-Alin Sujatmiko-
051115
Giggle Box

CS Bandung Writers' Club 6th Meeting

Lelaki Pemalu

Sudah lama aku menaruh hati padanya, namun hanya berani curi-curi pandang saja. Aku selalu merasa mungkin sudah ditakdirkan ketika pandangan kita beradu di hari itu. Aku ingat saat itu bulan Juli, saat ketika toko sibuk luar biasa  karena menyambut lebaran. Saat itu aku sedang memandang dari  etalase jendela dan sudut mataku bergetar pertama kali melihatmu.

Pandangan pertama yang membuatku terpukau adalah rambutmu yang hitam tergerai, berombak-ombak tersapu angin sungguh menawan dan yang paling membuatku terpukau adalah matamu, sungguh mati, baru pertama kali aku melihat mata sejernih itu. Ah paling hanya 10 detik aku memandang matamu,  tapi aku seperti tersedot, berputar-putar, seakan tertarik dalam sebuah dimensi yang lain.

Entah ini sudah takdir atau memang keberuntungan semata, si mata indah itu masuk kedalam toko dan ternyata ini adalah hari pertama dia bekerja disini. Di toko ini. Di tempat yang sama denganku.

Hari berganti hari, berganti minggu berganti bulan, tapi..ah..aku belum punya keberanian untuk berkenalan dengannya, apalagi menyatakan perasaanku padanya.

“aku ingin menegurnya” ucapku pada temanku yang berdiri di sebelahku
“siapa?” tanyanya
“pegawai baru itu” sahutku
“ya tegur saja, apa sulitnya, kasih boneka, kasih hadiah..siapa tau kalian bisa kencan” cerocosnya. Kurasakan nada nyinyir dalam jawabannya dan entah kenapa ucapannya membuat hati ku nyeri. Menyadarkanku bahwa aku adalah  seorang lelaki pemalu.

Namun se-pemalu apapun kalian, kalian pasti pernah jatuh cinta kan, rasanya sesak dan jutaan kupu-kupu berputaran di perutmu. Sekali dua kali mungkin masih bisa kalian tahan perasaan ini, tapi toh pertahananmu akan bobol juga pada akhirnya. 

Minggu berganti bulan, Juli bergeser menjadi Agustus. Awal bulan inilah waktu yang kunanti. Saat dimana karyawan bekerja lembur untuk menata toko dengan desain dan tema yang baru. Aku bertekad, hari ini saatnya bertindak. Semua sudah kurancang dengan rapi.

“hai” sapaku padanya
Kau hanya terdiam.
“siapa namamu?” 
Aku pandang matamu, Kegugupan melandaku dan kau masih terdiam.
“bolehkah aku berkenalan denganmu”
Kau masih juga diam.

Lalu kurasakan jarimu di tanganku. Kehangatan menjalar merayap hingga menusuk kedalam rongga dadaku. Kubiarkan engkau melucuti pakaianku, lalu celanaku, lalu kau lepaskan tangan kananku, lalu tangan kiriku, lalu kau pisahkan badanku dengan kakiku.

Kau pakaikan baju dan celana baru untukku.
“terima kasih” ucapku dengan tulus.


Tanpa suara, kau melangkah pergi. Bergerak menuju boneka pajangan lainnya. Ah, andai engkau tahu betapa inginnya aku mengetahui namamu nona manis.



-Alin Sujatmiko-
221015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 4th Meeting

Gelembung Kenangan

Hari ini hari minggu. Aku mengusap keringat, campuran antara lelah berjalan dan lelah pikiran. Mobil yang kukendarai ku parkir di jalan ganesha, karena jalan dago hari ini ditutup untuk CFD. Aku berbaur dengan keramaian orang yang sedang asyik mengikuti CFD. Pakaian yang kukenakan sedapat mungkin serupa dengan tampilan mereka, kaos oblong dipadu dengan celana olahraga dan sepatu kets. Sekilas pun dapat terlihat tidak ada bedanya antara aku dengan orang-orang lainnya. Namun berbeda dengan mereka yang mencari hiburan atau wisata kuliner, mataku jelalatan mencari satu booth yang sudah aku incar dari satu bulan yang lalu.

Kukeluarkan iphone dari saku celanaku, membaca ulang hasil catatan dan browsing mengenai ciri-ciri booth yang aku maksud. Pendek sekali sebetulnya informasi yang kudapatkan, namun kurasa sudah cukup jelas.
Pada notes iphone beberapa poin yang aku tuliskan :
    penjaga bapak-bapak berkumis usia kurang-lebih 30tahun
    booth hanya sebuah meja dan dua buah kursi berwarna biru muda
    terpasang sebuah X-banner bertuliskan “jasa gelembung”

Jalanan yang penuh sesak dengan orang, membuatku cukup kesulitan mencari, mau tidak mau aku hanya bisa berjalan lambat menyelusup diantara kerumunan orang sambil mataku melirik ke kiri dan ke kanan. 

“ah itu dia boothnya” pekik ku tertahan, melihat sepasang meja kursi berwarna biru muda. 
Kulihat ada X-Banner sederhana berwarna putih dengan font warna hitam tebal. Kudekati meja tersebut dan penjaganya memang benar seorang bapak berkumis!. 
“memang hebat teknologi masa kini, asal rajin mencari apa juga bisa kita ketahui” batinku.
“punten pak” sapaku kepada bapak penjaga.
“mangga neng, butuh jasa hapus?” jawabnya to the point.
“eh, iya pak” sahutku dengan kikuk
“boleh diterangkan nggak pa maksudnya jasa hapus ini apa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
Padahal dari hasil browsing di internet dari A sampai Z sudah tertulis lengkap jasa yang ditawarkan hingga harganya.
“oh boleh..boleh. Silahkan ini brosurnya” sahutnya sambil menyodorkan brosur.

Kudengarkan penjelasannya sembari kubolak-balik brosur yang tadi diberikan si bapak.
“jadi intinya jasa gelembung ini untuk mengeluarkan pikiran-pikiran yang ingin dibuang. Nanti tinggal dilist aja sama eneng memori apa aja yang ingin dibuang,”
“ada resikonya ga pa?” tanyaku
“yah, kalau resiko sih bisa dibilang ga ada. Cuma memori yang pengen dihapus ga bisa dibalikin lagi. Oh iya, uang yang sudah dibayarkan juga tidak bisa diminta kembali”

Aku menggumam tidak jelas. menimbang putusanku.
“gimana neng?” tanya bapak itu
aku terbangun dari lamunan  
“ah nekat ajalah! masa mau mundur udah nyampe sini” batinku.
“oke pa, jadi. Berapa lama ini waktunya?”
“cuma 15 menit aja neng kalau ga banyak mah. Silahkan dituliskan memori apa yang ingin dihapus”

Pikiranku langsung melayang mengingat kejadian jahanam itu.
“27 November dan 4 Desember 2013” kutulis tanggal itu di kertas yang tadi disodorkan bapak itu.
“wah dihapus semua ini neng, semua memori di dua hari itu?”
“hapus aja semua pak, ga perlu dipilih lagi”

Bapak itu lalu memasang sebuah helm ke kepalaku. Selang yang terpasang pada helm itu lalu dikencangkannya dengan baut. Lalu disambungkan selang itu menuju sebuah botol plastik.
“siap neng?” tanya bapak itu.
“oke pak, silahkan” jawabku
Lalu kudengar bunyi “Klik”, bunyi tombol ON pada helm yang ditekan.

Kurasakan sengatan listrik di kepalaku, lalu kemudian beberapa menit kemudian perlahan-lahan dari selang mengalir keluar tetesan merah muda masuk menuju botol. Sambil menunggu kulayangkan pandanganku, kearah keramaian orang di CFD, sedikit terlelap.
“sudah neng” sahut bapak itu.
Kualihkan pandanganku padanya, kulihat dia mengambil botol plastiknya. Ah, hanya berisi 3 tetesan kecil saja. Dia masukan air hingga hampir memenuhi botol dan dikocoknya botol tersebut, seketika muncul buih-buih berwarna-warni di botol.
“silahkan” kata bapak itu menyodorkan botol berisi memoriku
Kusodorkan uang lembaran 100ribuan
“dikemanain ini pak botolnya?” tanyaku
“oh ini sudah bisa dijadikan mainan gelembung sabun, mau neng mainkan sendiri bisa atau mau neng jual ke tukang balon sebelah juga bisa”

Kuputuskan untuk menjual botol memoriku ke tukang balon, apapun isinya aku malas menyimpan botol itu. Pastilah jika aku memutuskan untuk menghapusnya, tentu itu sebuah kenangan yang buruk dan menjijikan.

Aku berjalan menuju tukang gelembung sabun
“mang, mau beli” tawarku kepada tukang gelembung
“boleh neng?” jawabnya ramah, sepertinya dia sudah biasa membeli botol-botol serupa dengan milikku.
“5000 gimana?” tanyanya.
“mangga” sahutku cepat, karena sebetulnya aku tidak peduli dengan harganya.


Jadi jika kalian melihat tukang gelembung balon meniupkan gelembung di CFD, mungkin saja disana terselip kenangan-kenangan kami yang menggunakan jasa penghapusan.

-Alin Sujatmiko-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3nd Meeting

Voted as Favorite Story of the Night