Friday, November 6, 2015

Balas Dendam

Terdengar langkah kaki diiringi siulan diluar. Suaranya bergema dipantulkan sisi koridor kampus yang masih lengang. Kedua jarum jam dinding hitam di atas papan tulis putih membentuk garis vertikal sempurna. Dia selalu datang tepat jam enam pagi, terlalu pagi untuk ukuran anak bandel sepertinya. Kubolak-balik lembaran buku dihadapanku sambil berpura-pura menulis sesuatu, padahal PR ku sudah selesai di hari yang sama minggu lalu. Dia memasuki ruangan kelas kami. Dari ekor mataku bisa kutangkap gerakannya melintasi kelas, langsung menuju ke arahku. 
“Mana PR!” pintanya tanpa basa-basi

Kuulurkan buku dihadapanku, yang langsung disambarnya secepat kilat. Dengan bukuku didepannya, tangannya menulis dengan cepat. Bagaikan mesin fotokopi, dia selesai mencontek PR Kimia Dasar-ku dalam hitungan menit, lengkap dengan berbagai gambar rantai karbon. Dia mengembalikan bukuku tepat sebelum seorang kawan masuk dalam kelas. Jangankan terimakasih, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kurasakan geligiku merapat, dan sebelum sempat kulontarkan kekesalanku, punggungnya sudah menghilang di balik pintu. 

Ini sudah kesekian kalinya dia mencontek pekerjaan rumahku. Ya, PR yang menghabiskan berjam-jam waktuku hingga tak dapat nonton serial TV kesukaanku. Aku tak habis pikir kenapa dia harus mencontek, karena aku yakin bahwa dia bisa mengerjakannya sendiri dengan sempurna. Kalau kenapa dia mencontek PRku, bisa kupahami. Hanya aku yang datang lebih pagi darinya, karena aku berangkat bersama Ayah yang mengantarku sebelum beliau berangkat ke kantor.

Jam pelajaran pertama dan kedua adalah mata kuliah Bahasa Indonesia. Dia belum terlihat hingga bel pelajaran berakhir. Sudah kuduga dia akan membolos. Aku masih sibuk dengan pensil dan penghapus, mengganti jawaban PR Kimia Dasar di buku dengan jawaban yang tertulis di lembaran lain. Ya, hari ini aku punya rencana jahat. PR yang tadi dia contek, semuanya salah. 

Tepat saat jam pelajaran ketiga akan dimulai, dia menyelinap masuk. Tercium bau rokok saat dia melintas di sebelahku, kemudian duduk di bangkunya. Dosen mata kuliah Kimia Dasar yang terkenal killer itu mengabsen nama kami satu persatu. Tak seperti di kelas Bahasa Indonesia tadi, tak ada yang berani membolos di kelas Kimia Dasar. Di TPB ini, memang absensi 80% kehadiran itu mutlak. Di kelas Kimia Dasar, jangankan titip absen, 20% sisanya pun hanya bisa ditebus dengan surat dokter. Selesai dengan absen, dengan acak dia memanggil nama dari daftar hadir untuk menuliskan jawaban PR di papan tulis. Tak perlu dibantu doa, aku yakin namanya akan selalu dipanggil, walau entah di nomer berapa.

“Alkemi!” panggil Dosen Kimia kami dengan suara menggelegar.
Benar kan, dengan nama seperti itu, Dosen Kimia manapun pasti tertarik untuk mengujinya.
“Hore!” aku bersorak dalam hati. Akhirnya aku bisa balas dendam. 

Dengan percaya diri Al maju ke depan kelas, mengambil spidol yang diulurkan Sang Dosen, siap menuliskan jawaban yang diminta. Al menuliskan soal di baris pertama, melirik buku di tangan kirinya, lalu mulai menggambarkan jawaban di bagian bawah soal. Mata Sang Dosen mengikuti setiap goresan spidol biru di papan putih itu dengan cermat, dimana sepotong demi sepotong rantai karbon tergambar. 
“Sempurna!” ucapnya sambil menepuk pundak Al. 

Mataku membelalak tak percaya.

Voted as Favorite Story of the Night

-Ririe-
291015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 5th Meeting


No comments:

Post a Comment