Terdengar
langkah kaki diiringi siulan diluar. Suaranya bergema dipantulkan sisi
koridor kampus yang masih lengang. Kedua jarum jam dinding hitam di atas
papan tulis putih membentuk garis vertikal sempurna. Dia selalu datang
tepat jam enam pagi, terlalu pagi untuk ukuran anak bandel sepertinya.
Kubolak-balik lembaran buku dihadapanku sambil berpura-pura menulis
sesuatu, padahal PR ku sudah selesai di hari yang sama minggu lalu. Dia
memasuki ruangan kelas kami. Dari ekor mataku bisa kutangkap gerakannya
melintasi kelas, langsung menuju ke arahku.
“Mana PR!” pintanya tanpa basa-basi
Kuulurkan
buku dihadapanku, yang langsung disambarnya secepat kilat. Dengan
bukuku didepannya, tangannya menulis dengan cepat. Bagaikan mesin
fotokopi, dia selesai mencontek PR Kimia Dasar-ku dalam hitungan menit,
lengkap dengan berbagai gambar rantai karbon. Dia mengembalikan bukuku
tepat sebelum seorang kawan masuk dalam kelas. Jangankan terimakasih,
tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kurasakan geligiku merapat,
dan sebelum sempat kulontarkan kekesalanku, punggungnya sudah menghilang
di balik pintu.
Ini
sudah kesekian kalinya dia mencontek pekerjaan rumahku. Ya, PR yang
menghabiskan berjam-jam waktuku hingga tak dapat nonton serial TV
kesukaanku. Aku tak habis pikir kenapa dia harus mencontek, karena aku
yakin bahwa dia bisa mengerjakannya sendiri dengan sempurna. Kalau
kenapa dia mencontek PRku, bisa kupahami. Hanya aku yang datang lebih
pagi darinya, karena aku berangkat bersama Ayah yang mengantarku sebelum
beliau berangkat ke kantor.
Jam
pelajaran pertama dan kedua adalah mata kuliah Bahasa Indonesia. Dia
belum terlihat hingga bel pelajaran berakhir. Sudah kuduga dia akan
membolos. Aku masih sibuk dengan pensil dan penghapus, mengganti jawaban
PR Kimia Dasar di buku dengan jawaban yang tertulis di lembaran lain.
Ya, hari ini aku punya rencana jahat. PR yang tadi dia contek, semuanya
salah.
Tepat
saat jam pelajaran ketiga akan dimulai, dia menyelinap masuk. Tercium
bau rokok saat dia melintas di sebelahku, kemudian duduk di bangkunya.
Dosen mata kuliah Kimia Dasar yang terkenal killer itu mengabsen nama
kami satu persatu. Tak seperti di kelas Bahasa Indonesia tadi, tak ada
yang berani membolos di kelas Kimia Dasar. Di TPB ini, memang absensi
80% kehadiran itu mutlak. Di kelas Kimia Dasar, jangankan titip absen,
20% sisanya pun hanya bisa ditebus dengan surat dokter. Selesai dengan
absen, dengan acak dia memanggil nama dari daftar hadir untuk menuliskan
jawaban PR di papan tulis. Tak perlu dibantu doa, aku yakin namanya
akan selalu dipanggil, walau entah di nomer berapa.
“Alkemi!” panggil Dosen Kimia kami dengan suara menggelegar.
Benar kan, dengan nama seperti itu, Dosen Kimia manapun pasti tertarik untuk mengujinya.
“Hore!” aku bersorak dalam hati. Akhirnya aku bisa balas dendam.
Dengan
percaya diri Al maju ke depan kelas, mengambil spidol yang diulurkan
Sang Dosen, siap menuliskan jawaban yang diminta. Al menuliskan soal di
baris pertama, melirik buku di tangan kirinya, lalu mulai menggambarkan
jawaban di bagian bawah soal. Mata Sang Dosen mengikuti setiap goresan
spidol biru di papan putih itu dengan cermat, dimana sepotong demi
sepotong rantai karbon tergambar.
“Sempurna!” ucapnya sambil menepuk pundak Al.
Mataku membelalak tak percaya.
Voted as Favorite Story of the Night
-Ririe-
291015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 5th Meeting
No comments:
Post a Comment