Halo. Aku orangutan.
Kamu pernah mencintaiku, lho. Kamu menunggu-nungguku pukul
empat sore sambil membayangkan dunia imajinasi yang menyenangkan. Saking
sayangnya padaku, kamu meremasku sekuat tenaga. Mungkin gemas. Mungkin
tidak sabaran. Tidak seperti sebagian kawanmu yang merawatku baik-baik
dalam kamar berharganya.
Tapi aku cinta kamu, kok. Meski hanya dua puluh menit. Aku
ingat saat itu aku digenggam olehmu menyusuri jalanan komplek yang sepi.
Lalu kau berlari membawaku sepanjang pematang sawah. Melompati selokan.
Melompati sungai. Melompati jembatan.
Menit ketiga belas kamu bilang kamu bingung, mah gulali
kapas atau bp-bp-an. Aku tidak tahu mana yang harus kusarankan. Kamu
menghabiskan waktu meminta saran kawanmu juga. Pada akhirnya, kamu mau
gulali kapas saja. Dan kamu meninggalkanku bersama anak baru.
Tidak apa-apa. Toh aku akhirnya ketemu anak manis lain
seperti kamu. Anak yang ini mulai menceritakanku bahwa di pepohonan,
selain aku, mungkin ada kuntilanak. Aku tertawa dan merasa lucu. Karena
seumur hidup, aku tidak pernah ketemu kuntilanak di atas pohon.
Tidak apa-apa. Aku suka imajinasimu sebagai anak-anak.
Meski tentang kuntilanak. Namun sayang ya, hari ini tidak ada anak-anak
yang menungguku lagi, seperti kamu.
Bahkan kamu tidak pernah menungguku lagi. Hari ini,
setidaknya, Sultan Mahmud Badarudin yang ditunggu-tunggu. Aku,
orangutan, mulai dilupakan. Apalagi sejak koin perak itu sukses
menggantikanku.
Tidak apa-apa. Aku paham. Setidaknya aku pernah menghiasi
sejarahmu. Membuatmu berdebar-debar memilih mainan yang ingin
kaudapatkan. Setidaknya aku pernah membantumu memiliki gulali kapas.
Sampai jumpa, dari aku orangutan yang duduk di atas pohon.
-Moemoe Rizal-
261115
Kupu Bistro
CS Bandung Writers' Club 9th Meeting
No comments:
Post a Comment