Saturday, December 5, 2015

Open

Open.

Itu yang tertera di atas suratnya. Seolah kertas kado cantik itu belum cukup

mengundang siapa pun untuk membuka kotak yang terlindung di dalamnya. Aku membolak-

balik bingkisan mungil itu, mencari petunjuk. Sesuatu yang jelas sia-sia, karena pembungkus

kado di mana pun tak akan meninggalkan ruang untuk diintip.

Ketika aku kembali ke atas tempat tidur, menghempaskan tubuh dengan nyaman di atas

bantal-bantal, kubuka kado kecil itu. Kurobek saja, kubiarkan kertasnya berserakan di atas

lantai. Aku bukan Arvino yang akan membuka kadonya hati-hati, berencana menggunakannya

lagi suatu saat di masa depan. Jadi dalam lima detik, kutemukan kado itu bercangkangkan

kotak kardus kecil berwarna cokelat.

Mungkin isinya cincin lamaran. Mungkin isinya kunci mobil Mercedes Benz yang

kuidam-idamkan. Mungkin isinya gunting kuku. Apa pun dapat bersembunyi di balik kotak

sebesar 5 x 5 cm ini.

Namun begitu kubuka tutupnya, aku hanya menemukan secarik kertas yang digulung.

Warna kertasnya putih biasa, tampak disobek dari HVS 70 gram yang baru diambil dari

kawanan rimnya. Di dalamnya tidak ada surat cinta, maupun puisi-puisi romansa. Hanya satu

kata saja. Dengan tulisan ceker balado.

“Maaf.”

Aku menyunggingkan senyum sebelah dan memutuskan untuk melupakannya.

Esok paginya, aku mendapat kado yang lain. Kali ini bentuknya digital. Notifikasi

kehadirannya berkerlap-kerlip di ponselku, mencari perhatian. Aku menemukannya tepat ketika

aku terbangun dari tidur. Ada kiriman media Whatsapp yang di tengah gambarnya terpampang

segitiga mengarah ke kanan. Ini kiriman video. Dari Arvino. Pesan pengiring kiriman media itu

hanya satu kata: Open.

Jadi, aku mainkan videonya.

Ada Arvino. Di kamarnya yang mungil. Di bawah selimut putih gading bertotol-totol

cokelat, yang biasanya sering kuledek karena persis jerawat. Arvino duduk menyandar.

Kepalanya menunduk merasa bersalah, wajahnya tampak menyesal. Dia membiarkan lima

belas detik pertama tanpa apa pun. Dia menunduk. Menunduk. Melirik ke kamera, tetapi lalu

menurunkan pandang lagi karena merasa bersalah.

Detik keenam belas Arvino bicara. “Maaf,” katanya.

Lalu, ada lima detik lain yang sunyi. Arvino mulai menunjukkan wajah memelas seperti

anak anjing. Biasanya, aku luluh melihat ekspresinya yang seperti ini. Sekarang pun, aku luluh

lagi. Namun aku menolak menyerah. Aku akan tetap mengabaikannya.

“Maaf, Ayank. Maaf. Maafin aku,” katanya, pada detik kedua puluh tujuh dan seterusnya.

“Maafin aku.” Lalu bahunya berguncang dan dia benar-benar menyesal.

Video itu berakhir pada detik keempat puluh tiga.

Kuputuskan untuk kulupakan dan berlanjut mandi saja. Aku harus pergi kuliah pagi ini.

Aku tidak boleh terlambat.

Namun, aku tahu, aku dan Arvino tidak akan bertengkar lebih lama dibandingkan

microwave memanaskan makaroni panggang. Baru dua belas jam sejak terakhir kali kami

beradu argumen, dan jujur saja, ini rekor baru yang berhasil kami capai.

Biasanya, jika aku dan Arvino bertengkar, aku akan memohon-mohon kepadanya dalam

empat puluh menit. Kalau aku yang salah, aku yang meminta maaf. Kalau Arvino yang salah,

aku juga yang meminta maaf. Entahlah, kami sudah terlalu nyaman dengan sistem seperti itu.

Arvino nyaman diperlakukan bak Ratu Elizabeth, di mana siapa pun yang melakuan kesalahan,

semua meminta maaf kepada ratu. Dan aku, karena terlalu mencintai Arvino, rela meminta

maaf sekali pun itu bukan salahku.

Kali ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan kami, aku membiarkan diriku

tidak meminta maaf setelah lebih dari satu jam pertengkaran.

Sudahlah, lupakan.

Memasuki makan siang, aku sudah pulang ke kosan dan menenggelamkan diriku dalam

game online. Inginnya aku meminta maaf kepada Arvino dan mengembalikan romansa kami ke

manja-manjaan seperti biasa. Namun sekali lagi, tekadku sedang kuat. Aku ingin mengulur

waktu maafku.

Sekitar pukul dua siang, pintu kamarku diketuk. Aku menoleh dan bertanya, “Siapa?”

Yang mengetuk di luar tidak menjawab siapa namanya. Dia malah berkata, “Open.” Dan

aku tahu itu Arvino.

Karena aku bukan manusia yang kekanak-kanakan, kubiarkan Arvino masuk ke dalam

kamarku. Dia berwajah sama seperti dalam video. Menunduk. Memelas. Malu. Merasa

bersalah. Berharap aku mau memaafkan dia. Arvino duduk di atas ranjang, memilin-milin ujung

bajunya, dan sesekali melirikku, memintakuuntuk bicara duluan.

Namun aku tidak bicara duluan. Jadi, “Maaf,” katanya, memulai pembicaraan.

Aku membiarkan dua menit dalam kamar itu sunyi tanpa apa pun. Hanya diisi

kecanggungan dan pelasan minta maaf. Sampai akhirnya aku berkata, “Oke.”

“Maaf, Yank,” ungkap Arvino lagi.

“Iya. You don’t need to, actually. Aku udah maafin kamu satu detik setelah kita

berargumen.”

“Tapi kamu nggak ngebales apa pun pesan dari aku.”

Aku tertawa kecil. “Iya, kalau gitu aku yang minta maaf soal itu. Aku pengen Ayanknya

punya waktu aja buat merenungkan diri. Tapi aku udah maafin kamu sejak awal. Selalu maafin

kamu, atas apa pun yang kamu lakukan.”

Arvino mendekatiku. Memelukku. Dan bermanja-manja meminta maaf.

“Maaf,” bisik Arvino sekali lagi.

“Iya, sayang.” Kukecup pipinya. “But please, next time, appreciate yourself.”

“Iyaaa...,” dengungnya. “Iya, maaf.”

“You are beautiful in my eyes. So please, jangan benci sesuatu yang sebenarnya aku

cintai. Oke?”

Jadi begini, semalam kami bertengkar gara-gara aku menggodanya. Kubilang, “lebar”

pada salah satu foto terbarunya di Instagram. Dan Arvino marah. Dia tersinggung karena aku

secara tidak langsung mengatainya gendut. Yah, secara teknis memang begitu. Namun aku

kan hanya menggodanya. Kemudian Arvino marah, beradu argumen denganku, dan

menyatakan opininya secara jelas supaya aku tidak mencandainya untuk sesuatu yang

menyerempet insekuritasnya.

Kemudian, aku mulai balas memarahi. Karena aku tidak suka ketika dia membenci

bentuk tubuhnya. Sudah kukatakan berkali-kali kepadanya, bahwa aku mencintainya atas

bentuk tubuhnya itu juga. Apa pun itu bentuknya.

“Tapi society hates this kind of body,” kata dia membela.

“Well that’s society. And I’m not society. Who do you listen to, Vino? Is it me, someone

who is obviously in love with you? Or is it society, who expect you to be what they thought is

perfect?”

Arvino menunduk.

“What I though is perfect, adalah ketika kamu menerima diri kamu sendiri. Ketika kamu

membuka ruang kecil insekuritas dalam hati kamu itu, lalu mulai kamu isi dengan pemahaman

bahwa, di sini, aku kekasihmu, melihatmu sebagai seseorang, bukan sebagai sesosok jasad

bernyawa.”

Arvino memelukku lebih erat. Sangat-sangat menyesal. “Maaf,” katanya terakhir kali.

Aku tersenyum dan memberikan argumen terakhir. “Aku akan selalu maafkan sebelum

kamu minta maaf. So, Ayank, please open yourself to a healthier mind. You are healthy. And

you are beautiful.” Kukecup bibirnya. “Open.”

-Moemoe Rizal-
191115
Jakarta

No comments:

Post a Comment