Apa
sih artinya krisis? Hal yang pertama kali terpikirkan di kepala adalah
sesuatu yang bikin hati sama perasaan deg-degan dan gak nyaman. Hal yang
bisa saja terjadi di segala lini kehidupan dari sosial, lingkungan,
pribadi bahkan yang paling berasa kalau sudah menyangkut soal ekonomi
dan keuangan. Ah sepertinya terlalu basi untuk membahas yang namanya
krisis lingkungan di Indonesia apalagi ngebahas soal kebakaran hutan dan
asap di negeri kita ini. Maaf bukannya gak peduli sama keadaan saudara
dan keluarga kita di sana tapi untuk taraf rakyat kayak saya sih bukan
levelnya untuk mengkritisi. “Yaa da aku mah apa atuh?” kalo mengutip
celotehan anak jaman sekarang.
Ngomongin
soal lingkungan buat saya bukan cuma sekedar ngomongin alam yang
warnanya akan didominasi oleh warna hijau dan biru saja. Lingkungan itu
menurut saya ya kita ini; kita, mereka, dia, aku dan kamu. iya kamu! Dan
dengan kesadaran penuh saya bilang kalo kita memang sedang mengalami
krisis lingkungan. Yang menurut saya adalah kita ini mengelami krisis
dengan lingkungan sekitar kita, krisis hubungan antar sesama manusia.
Saat
ini adalah saat dimana manusia satu dengan manusia lain akan bertemu
dengan segala keterbatasan. Keterbatasan akan Sinyal, pulsa, daya batrai
bahkan merk gadgetnya. Dan parahnya kita masih merasa cukup dan
berbahagia dengan itu semua. Sebuah batasan kebahagiaan yang berhenti
pada titik cukup untuk saling berbalas pesan singkat, bertukar cerita
lewat suara ataupun gambar. Ya jika memang jarak wilayah yang tergolong
cukup jauh memang bisa dimaklumi. Tapi nyatanya kehidupan masa kini
memang sudah sangat berjarak walaupun keberadaannya dekat. Bahkan ketika
sudah bersebelahan! Musnah sudah makna bersentuhan dan bertatap muka,
saling memandang secara langsung. Dengan mengetahui kabar kawan dan
saudara melalui celotehan atau foto terbaru saja, kita cukup berbahagia.
Apa sesederhana itu makna kebahagiaan yang sesungguhnya?
Belum
selesai dengan jarak yang tak dapat terjangkau dengan tangan, lalu
bermunculan berbagai istilah yang menambah panjang jarak tersebut.
Ketika kita ingin berbaik hati menjadi peduli dengan situasi dan kondisi
yang menimpa seseorang, maka istilah Kepo akan
melayang menampar pipi kita. Lalu ketika kita meluapkan semangat kita
secara berapi-api dan menjadi sedikit perfeksionis terhadap hal-hal
detail yang menjadi perhatian dan minat kita, maka istilah Rempong menjambak
kita dengan keras. Belum lagi kalau tiba-tiba kita memberikan sedikit
sentuhan romantis, melankolis dan penuh perasaan dalam berpendapat,
istilah Galau atau Curcol akan
mencincang kita secara brutal. Lalu semua istilah itu akan keluar dari
mulut seseorang disertai senyum sinis bahkan bisa menjadi bahan
tertawaan. Ah!
Dan satu lagi istilah terbaru, Baper!
Entah kenapa sejak pertama kali saya mendengar istilah tersebut rasanya
gak nyaman dan terlalu kasar untuk diuangkapkan. Di saat kita meiliki
sebuah ide yang kemudian ditimpali secara urakan yang akhirnya membuat
kita sedih, tersinggung bahkan marah, orang tinggal bilang “Ah kamu Baper sih
anaknya!”. Kemudian segalanya akan berhenti disitu. Gak bisa komentar
lagi atau sekedar membela diri karena gengsi. Padahal apa salahnya sih Baper?
Memangnya salah jika melibatkan perasaan untuk hal-hal yang terjadi di
sekitar atau di lingkungan kita? Astaga, mungkin benar ternyata kita
sedang dilanda krisis lingkungan di saat orang-orang sudah mulai malas
melibatkan perasaan, mulai gak pake perasaan atau mulai meremehkan
perasaan orang lain. Ini baru namanya krisis!!
-artahartasemesta-
081015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 2nd Meeting
No comments:
Post a Comment