Saturday, December 5, 2015

Krisis Lingkungan di Indonesia

Apa sih artinya krisis? Hal yang pertama kali terpikirkan di kepala adalah sesuatu yang bikin hati sama perasaan deg-degan dan gak nyaman. Hal yang bisa saja terjadi di segala lini kehidupan dari sosial, lingkungan, pribadi bahkan yang paling berasa kalau sudah menyangkut soal ekonomi dan keuangan. Ah sepertinya terlalu basi untuk membahas yang namanya krisis lingkungan di Indonesia apalagi ngebahas soal kebakaran hutan dan asap di negeri kita ini. Maaf bukannya gak peduli sama keadaan saudara dan keluarga kita di sana tapi untuk taraf rakyat kayak saya sih bukan levelnya untuk mengkritisi. “Yaa da aku mah apa atuh?” kalo mengutip celotehan anak jaman sekarang.
Ngomongin soal lingkungan buat saya bukan cuma sekedar ngomongin alam yang warnanya akan didominasi oleh warna hijau dan biru saja. Lingkungan itu menurut saya ya kita ini; kita, mereka, dia, aku dan kamu. iya kamu! Dan dengan kesadaran penuh saya bilang kalo kita memang sedang mengalami krisis lingkungan. Yang menurut saya adalah kita ini mengelami krisis dengan lingkungan sekitar kita, krisis hubungan antar sesama manusia.
Saat ini adalah saat dimana manusia satu dengan manusia lain akan bertemu dengan segala keterbatasan. Keterbatasan akan Sinyal, pulsa, daya batrai bahkan merk gadgetnya. Dan parahnya kita masih merasa cukup dan berbahagia dengan itu semua. Sebuah batasan kebahagiaan yang berhenti pada titik cukup untuk saling berbalas pesan singkat, bertukar cerita lewat suara ataupun gambar. Ya jika memang jarak wilayah yang tergolong cukup jauh memang bisa dimaklumi. Tapi nyatanya kehidupan masa kini memang sudah sangat berjarak walaupun keberadaannya dekat. Bahkan ketika sudah bersebelahan! Musnah sudah makna bersentuhan dan bertatap muka, saling memandang secara langsung. Dengan mengetahui kabar kawan dan saudara melalui celotehan atau foto terbaru saja, kita cukup berbahagia. Apa sesederhana itu makna kebahagiaan yang sesungguhnya? 
Belum selesai dengan jarak yang tak dapat terjangkau dengan tangan, lalu bermunculan berbagai istilah yang menambah panjang jarak tersebut. Ketika kita ingin berbaik hati menjadi peduli dengan situasi dan kondisi yang menimpa seseorang, maka istilah Kepo akan melayang menampar pipi kita. Lalu ketika kita meluapkan semangat kita secara berapi-api dan menjadi sedikit perfeksionis terhadap hal-hal detail yang menjadi perhatian dan minat kita, maka istilah Rempong menjambak kita dengan keras. Belum lagi kalau tiba-tiba kita memberikan sedikit sentuhan romantis, melankolis dan penuh perasaan dalam berpendapat, istilah Galau atau Curcol akan mencincang kita secara brutal. Lalu semua istilah itu akan keluar dari mulut seseorang disertai senyum sinis bahkan bisa menjadi bahan tertawaan. Ah!
Dan satu lagi istilah terbaru, Baper! Entah kenapa sejak pertama kali saya mendengar istilah tersebut rasanya gak nyaman dan terlalu kasar untuk diuangkapkan. Di saat kita meiliki sebuah ide yang kemudian ditimpali secara urakan yang akhirnya membuat kita sedih, tersinggung bahkan marah, orang tinggal bilang “Ah kamu Baper sih anaknya!”. Kemudian segalanya akan berhenti disitu. Gak bisa komentar lagi atau sekedar membela diri karena gengsi. Padahal apa salahnya sih Baper? Memangnya salah jika melibatkan perasaan untuk hal-hal yang terjadi di sekitar atau di lingkungan kita? Astaga, mungkin benar ternyata kita sedang dilanda krisis lingkungan di saat orang-orang sudah mulai malas melibatkan perasaan, mulai gak pake perasaan atau mulai meremehkan perasaan orang lain. Ini baru namanya krisis!!
-artahartasemesta-
081015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 2nd Meeting

No comments:

Post a Comment